Admin : AA H. RONY KP.SABRANG, JAWILAN - SERANG - BANTEN 42177.Telp. +6281280485019 (Indonesia) dan +967715138399 (Yemen).
بـــسـم الله الرحمن الرحيم السّـلام عليكم ورحمة الله وبركاتـه بعد تحــية وبعــد ...... شهر رمضان المبارك والمعظم === أبعث لسعادتكم === بأخلص التهاني وأطيب التمنيات والأماني بالشهر الفضيل, تقبل الله منا ومنكم صيامنا وصيامكم, قيامنا وقيامكم... سائلين الله أن يعيده علينا وعليكم بالصحة والسعادة وأن يجعل الله العلي القدير هذا الشهر عليكم مباركا خيرا ويمنا.. وعلى أمتنا الإسلامية تقدما وازدهارا... وكل عام وأنتم والجميع بخير ولكم مني جزيل الشكر والتقدير وجزاكم الله الخير. والسّـلام عليكم ورحمة الله وبركاته أخوكم في الله الحاج بكراني لاتار
AA H. RONY DAN KELUARGA BESAR DI SABRANG SERTA SELURUH MASYARAKAT JAWILAN MENGUCAPKAN "SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1434 H SEMOGA KITA BISA MENJADI LEBIH BAIK DI HARI-HARI YANG AKAN DATANG"

Dua Bola Mata di Amplop Putih

Dua Bola Mata di Amplop Putih


Di pagi yang lengang. Mataku nanap melihat amplob putih dengan dua bola mata terjepit di pintu kontrakan Jumali. Kuketuk pintunya, tak ada yang membuka. Kulongok kosong. Dua bola mata itu kecil, merah, semerah saga. Dan di pojok amplob itu terlutis: SALAM DARI IDA. Tulisan itu menggunakan hurup kapital. Kubiarkan amplob itu tetap terjepit hingga matahari melambung ke atas atap.

Memang sebelum aku membuka jendela sendiri ada deru yang mencurigakan, entah deru apa?.

Tiba-tiba ingatan terseret kebelakang, ke hari dimana Jumali menceritakan tentang peristiwa yang telah merengkuh nyawa bapaknya: Ibu bertiak dari sumur, membangunkan seluruh penduduk kampung kumuh, karena bapak bergolek bersimbah darah, lehernya menganga, matanya menggelinding di atas alas tikar pandan. Dan setelah di telusuri peristiwa itu, ternyata semua itu akibat dari perilaku bapak sendiri, bapak menyantet istri muda juragan singkong, Moraji, yang di kenal rentenir oleh orang-orang kampung.

“Tidak. Tidak mungkin”, aku tersentak oleh silau matahari yang memantul dari amplob putih itu. Kini darah yang membasahi amplob itu semakin terang terlihat. Dan tiba-tiba ada yang menganjal dalam pikiranku waktu itu. Apalagi memang sudah bebepara bulan ini Jumali bertingkah aneh. Aku kerap kali menjumpainya dia di trotoar jalan, kadang di jembatan, tempat beberapa hari yang lalu polisi menemukan mayat perempuan terdampar.

Aku gelisah, ingin mencari jumali, tapi aku bingung kemana aku harus mencari?, sedang tempat singgah jumali tak nentu. Haruskah aku mecarinya kejembatan itu?. Kutanam tekad dalam hati.

Seusai aku memberesi kamar, kutelusuri sepanjang trotoar jalan sambil mengendarkan pandangan ke sekitar, tetap tak kulihat Jumali. Namun tak lama, setelah aku berada di sana, mengendarkan pandangan, ternyata Jumali ada di sana, dia melempar batu-batu kecil ketengah sungai. Lekas aku menghampirinya.

“Li, pulang” teriakku sembari mendekatinya.

Jumali menoleh tanpa jawaban. Dia terus melempar batu ke sungai.

“Pulang, Li” pintaku sekali lagi.

Tapi jumali tak juga merespon perkataanku, dia tetap melempar batu itu ke tengah sungai. Aku tak habis pikir dengan tingkah kalu Jumali yang semakin hari, kian seperti orang yang telah kehilangan akal.

“Li, ada amplop di kontrakanmu. Pulang”

“Ah, sudahlah. Aku capek membacanya, pasti isinya hanya itu-itu saja: Gimana kabar anak lelaki ibu, apa sudah mendapat kerja?, soalnya para tetangga sudah pada menggunjingmu. Terutama si Moraji, jurangan singkong rentenir itu. Sawah yang akan diwariskan untukmu sudah ibu jual untuk biaya sehari-hari dan biaya sekolah adik perempuanmu, Ida. Ibu harap kamu cepat cari kerja kalau masih belum mendapatkan kerja. Dan kalau bisa kau segera mengirimkan uang sebanyak-banyaknya, soalnya sudah beberapa minggu ini banyak tetangga datang menagih hutang termsuk juragan rentenir itu. Pokoknya secepatnya. Hanya itu, No”

“Tapi amplop itu berbeda”

“Maksudnya?”

“Di amplob itu ada dua bola mata kecil”

“Itu hanya rekayasa ibu. Pasti isinya sama”

“Aku yakin isinya berbeda”

“Sudahlah. Mau amplob itu berisi bola mata benaran atau tidak, itu tidak penting”

“Tapi, Li…!”

“Aku tak butuh nasehatmu. Pulang. Pulang kau. Pulang…”

Jumali menudingku. Aku pun pergi. Aku tak ingin menambah beban jumali.

***

Semasih bau subuh tersisa, kubuka pintu rumah, kutatap amplob itu yang sesekali di ayun angin pagi. Rasanya aku ingin menyentuhnya, tapi ada yang tiba-tiba melarangku, aku pun mengurung niat. Sebab kupikir hanya Jumali yang berhak menyentuhnya.

Kulihat warna merah di pojok amplob itu telah mulai memudar karena sudah tiga hari diterpa terik matahari. Namun bola mata yang mulai membusuk itu tak juga menebarkan bau anyir. Ya, sama sekali tidak.

Sementara hingga hari ini Jumali tak juga pulang, meski aku telah mengatakan tentang amplob putih itu. Aku pun mulai terusik dengan amplop putih itu.

Setelah silau matahari semakin terang, kutelusuri trotoar jalan sambil menikmati angin pagi kota. Dan ketika aku berada di pinggir jalan raya tak jauh dari kontrakan, tiba-tiba kulihat di emperan toko buku Jumali sedang terlelap, buru-buru aku mengehampirinya. Kubangunkan dia.

“Kenapa kau tidur di tempat seperti ini. Untuk apa kau mahal-mahal membayar kontrakan jika kau tak menempatinya?. Pulanglah, Li”

“Tidak”

“Kenapa?. Kalau memang kau punya masalah katakan padaku, mungkin aku bisa membantu”

“Tidak”

“Kenapa?. Bukankah kita berteman sejak dua tahun yang silam. Ayo katakan”

“Tidak”

“Li, Sudah kukatakan padamu tiga hari lalu, di kontrakanmu ada amplob. Ketahuilah kalau amplob itu kini telah lusuh. Kau harus membacanya, agar kau tahu sedang terjadi apa di rumahmu. Aku tahu kau sedang marah, benci, terhadap sikap ibumu. Tapi jika dengan marah sudah cukup untuk apa kau menyiksa dirimu seperti ini? “.

Jumali tertunduk. Kulihat wajahanya, kubaca gerak-geriknya. Dan aku berkesimpulan kalau Jumali memang tengah punya masalah. Namun yang tak habis pikir, mengapa dia menyiksa dirinya.

“Li, kita tak kan bisa menghindar dari masalah. Dan mau tidak mau kita harus menghadapinya, tapi bukan seperti ini caranya. Ayo pulang, kau harus tahu amplob itu, kau harus membacanya”

“Aku telah tahu semunya. Dua bola mata di amplob itu hanya rekayasa ibu atau hanya keisengan adik perempuanku, karena aku tak pernah mengirimkan uang atau kabar pada mereka. Jadi tak ada yang harus kuketahui atau kubaca, sebab semuanya telah basi”

“Li, pulanglah sebelum semuanya benar-benar basi”

Kutinggalkan Jumali dalam diam. Dan sesampainya di tengah jalan amplob putih dengan dua bola mata itu kembali bergentayangan dalam kepala. Kutepis, datang lagi. Kutepis, datang lagi. hingga aku merasa terusik. Namun kupikir aku tak boleh terjebak dengan masalah itu, sebab itu masalah Jumali, aku hanya ingin membantunya.

Di kontrakan, sebelum aku membuka pintu yang bersebelahan dengan pintu kontrakan Jumali, aku sempat terperangah setelah melihat amplob itu tergeletak di tanah. Lekas-lekas aku mengambilnya, kuperhatikan amplob itu dengan seksama, sebelum kuletakkan kembali di tempat semula.

Hari semakin siang. Kuperhatikan Jumali tetap tak pulang, sedang amplop itu sudah beberapa kali jatuh, aku khawatir amplob itu akan dibawa angin atau diambil orang. Akhirnya aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga amplob hingga Jumali pulang.

***

Sudah enam hari aku menjaga amplob putih itu. Sedang Jumali tetap tak pulang-pulang. Aku sendiri pun mulai tak betah menunggu kepulangan Jumali, aku ingin mencarinya, menasehatinya, atau menamparnya agar dia sadar kalau tindakannya selama ini salah.

Dan hari ini, hari ketujuh aku menjaga amplob putih itu. Kesabaranku sudah benar-benar habis, aku tak sanggup lagi menanti Jumali. Setelah senja hampir tenggelam, aku bergegas menutup pintu, “Aku harus bisa mengajak Jumali pulang”. Namun saat aku ingin pergi, tiba-tiba kulihat Jumali berjalan terhuyung-huyung menuju ke arahku. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, gemetar, serupa orang kehujanan. Bibirnya memutih, matanya cekung.

“Li, kenapa kalau baru pulang hari ini?. Aku capek siang malam aku menjaga amplopmu” kataku setelah Jumali berada di hadapanku.

“Aku tak menyuruhmu menjaganya” sahutnya.

“Apa, Li. Begitu gampang kau bicara. Coba pikir pengorbananku, selama tujuh hari aku menjaganya. Kamu tahu kemarin seandainya aku tak menjaganya mungkin amplob itu sudah hilang. Coba pikir, Li. Pikir. Aku menjaga tanpa pamrih”

“O, kamu butuh pamrih. Baik, jika kau memang butuh pamrih akan kubayar pengorbananmu. Kau ingin apa?” Jumali mengangkat wajahnya, “Belum jadi pejabat kau sudah minta bayaran, apalagi setelah jadi pejabat. Aku tak dapat membayangkan”.

“Apa, Li. Begitu mudah kau bicara. Kukira seorang pasca sarjana tidak akan bicara seperti itu”

Jumali diam, seakan tak mendengar kata-kataku, dia menunduk sambil menyilang lengan. Getar tubuhnya semakin cepat.

Lalu perlahan Jumali kembali mengangkat wajahnya, menatap amplob dengan dua bolah mata kecil yang terjepit di pintu itu. Dan setelah agak lama menatapnya, Jumali mengambilnya dengan pelan-pelan, merobeknya dari pojok, lalu dia mengeluarkan sebuah kertas lusuh, membacanya tanpa suara hingga suasana hening seketika. Namun di tengah keheningan itu, tiba-tiba Jumali berteriak lengking.

“Ida. Ida. Ibu. Bangsaaaaaaaaat!. Juragan rentenir. Juragan biadab!”

Jumali roboh sambil memukul-mukul pintu kontrakannya, seperti orang kesetanan dalam ruang pesaksian.***
Di pagi yang lengang. Mataku nanap melihat amplob putih dengan dua bola mata terjepit di pintu kontrakan Jumali. Kuketuk pintunya, tak ada yang membuka. Kulongok kosong. Dua bola mata itu kecil, merah, semerah saga. Dan di pojok amplob itu terlutis: SALAM DARI IDA. Tulisan itu menggunakan hurup kapital. Kubiarkan amplob itu tetap terjepit hingga matahari melambung ke atas atap.

Memang sebelum aku membuka jendela sendiri ada deru yang mencurigakan, entah deru apa?.

Tiba-tiba ingatan terseret kebelakang, ke hari dimana Jumali menceritakan tentang peristiwa yang telah merengkuh nyawa bapaknya: Ibu bertiak dari sumur, membangunkan seluruh penduduk kampung kumuh, karena bapak bergolek bersimbah darah, lehernya menganga, matanya menggelinding di atas alas tikar pandan. Dan setelah di telusuri peristiwa itu, ternyata semua itu akibat dari perilaku bapak sendiri, bapak menyantet istri muda juragan singkong, Moraji, yang di kenal rentenir oleh orang-orang kampung.

“Tidak. Tidak mungkin”, aku tersentak oleh silau matahari yang memantul dari amplob putih itu. Kini darah yang membasahi amplob itu semakin terang terlihat. Dan tiba-tiba ada yang menganjal dalam pikiranku waktu itu. Apalagi memang sudah bebepara bulan ini Jumali bertingkah aneh. Aku kerap kali menjumpainya dia di trotoar jalan, kadang di jembatan, tempat beberapa hari yang lalu polisi menemukan mayat perempuan terdampar.

Aku gelisah, ingin mencari jumali, tapi aku bingung kemana aku harus mencari?, sedang tempat singgah jumali tak nentu. Haruskah aku mecarinya kejembatan itu?. Kutanam tekad dalam hati.

Seusai aku memberesi kamar, kutelusuri sepanjang trotoar jalan sambil mengendarkan pandangan ke sekitar, tetap tak kulihat Jumali. Namun tak lama, setelah aku berada di sana, mengendarkan pandangan, ternyata Jumali ada di sana, dia melempar batu-batu kecil ketengah sungai. Lekas aku menghampirinya.

“Li, pulang” teriakku sembari mendekatinya.

Jumali menoleh tanpa jawaban. Dia terus melempar batu ke sungai.

“Pulang, Li” pintaku sekali lagi.

Tapi jumali tak juga merespon perkataanku, dia tetap melempar batu itu ke tengah sungai. Aku tak habis pikir dengan tingkah kalu Jumali yang semakin hari, kian seperti orang yang telah kehilangan akal.

“Li, ada amplop di kontrakanmu. Pulang”

“Ah, sudahlah. Aku capek membacanya, pasti isinya hanya itu-itu saja: Gimana kabar anak lelaki ibu, apa sudah mendapat kerja?, soalnya para tetangga sudah pada menggunjingmu. Terutama si Moraji, jurangan singkong rentenir itu. Sawah yang akan diwariskan untukmu sudah ibu jual untuk biaya sehari-hari dan biaya sekolah adik perempuanmu, Ida. Ibu harap kamu cepat cari kerja kalau masih belum mendapatkan kerja. Dan kalau bisa kau segera mengirimkan uang sebanyak-banyaknya, soalnya sudah beberapa minggu ini banyak tetangga datang menagih hutang termsuk juragan rentenir itu. Pokoknya secepatnya. Hanya itu, No”

“Tapi amplop itu berbeda”

“Maksudnya?”

“Di amplob itu ada dua bola mata kecil”

“Itu hanya rekayasa ibu. Pasti isinya sama”

“Aku yakin isinya berbeda”

“Sudahlah. Mau amplob itu berisi bola mata benaran atau tidak, itu tidak penting”

“Tapi, Li…!”

“Aku tak butuh nasehatmu. Pulang. Pulang kau. Pulang…”

Jumali menudingku. Aku pun pergi. Aku tak ingin menambah beban jumali.

***

Semasih bau subuh tersisa, kubuka pintu rumah, kutatap amplob itu yang sesekali di ayun angin pagi. Rasanya aku ingin menyentuhnya, tapi ada yang tiba-tiba melarangku, aku pun mengurung niat. Sebab kupikir hanya Jumali yang berhak menyentuhnya.

Kulihat warna merah di pojok amplob itu telah mulai memudar karena sudah tiga hari diterpa terik matahari. Namun bola mata yang mulai membusuk itu tak juga menebarkan bau anyir. Ya, sama sekali tidak.

Sementara hingga hari ini Jumali tak juga pulang, meski aku telah mengatakan tentang amplob putih itu. Aku pun mulai terusik dengan amplop putih itu.

Setelah silau matahari semakin terang, kutelusuri trotoar jalan sambil menikmati angin pagi kota. Dan ketika aku berada di pinggir jalan raya tak jauh dari kontrakan, tiba-tiba kulihat di emperan toko buku Jumali sedang terlelap, buru-buru aku mengehampirinya. Kubangunkan dia.

“Kenapa kau tidur di tempat seperti ini. Untuk apa kau mahal-mahal membayar kontrakan jika kau tak menempatinya?. Pulanglah, Li”

“Tidak”

“Kenapa?. Kalau memang kau punya masalah katakan padaku, mungkin aku bisa membantu”

“Tidak”

“Kenapa?. Bukankah kita berteman sejak dua tahun yang silam. Ayo katakan”

“Tidak”

“Li, Sudah kukatakan padamu tiga hari lalu, di kontrakanmu ada amplob. Ketahuilah kalau amplob itu kini telah lusuh. Kau harus membacanya, agar kau tahu sedang terjadi apa di rumahmu. Aku tahu kau sedang marah, benci, terhadap sikap ibumu. Tapi jika dengan marah sudah cukup untuk apa kau menyiksa dirimu seperti ini? “.

Jumali tertunduk. Kulihat wajahanya, kubaca gerak-geriknya. Dan aku berkesimpulan kalau Jumali memang tengah punya masalah. Namun yang tak habis pikir, mengapa dia menyiksa dirinya.

“Li, kita tak kan bisa menghindar dari masalah. Dan mau tidak mau kita harus menghadapinya, tapi bukan seperti ini caranya. Ayo pulang, kau harus tahu amplob itu, kau harus membacanya”

“Aku telah tahu semunya. Dua bola mata di amplob itu hanya rekayasa ibu atau hanya keisengan adik perempuanku, karena aku tak pernah mengirimkan uang atau kabar pada mereka. Jadi tak ada yang harus kuketahui atau kubaca, sebab semuanya telah basi”

“Li, pulanglah sebelum semuanya benar-benar basi”

Kutinggalkan Jumali dalam diam. Dan sesampainya di tengah jalan amplob putih dengan dua bola mata itu kembali bergentayangan dalam kepala. Kutepis, datang lagi. Kutepis, datang lagi. hingga aku merasa terusik. Namun kupikir aku tak boleh terjebak dengan masalah itu, sebab itu masalah Jumali, aku hanya ingin membantunya.

Di kontrakan, sebelum aku membuka pintu yang bersebelahan dengan pintu kontrakan Jumali, aku sempat terperangah setelah melihat amplob itu tergeletak di tanah. Lekas-lekas aku mengambilnya, kuperhatikan amplob itu dengan seksama, sebelum kuletakkan kembali di tempat semula.

Hari semakin siang. Kuperhatikan Jumali tetap tak pulang, sedang amplop itu sudah beberapa kali jatuh, aku khawatir amplob itu akan dibawa angin atau diambil orang. Akhirnya aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga amplob hingga Jumali pulang.

***

Sudah enam hari aku menjaga amplob putih itu. Sedang Jumali tetap tak pulang-pulang. Aku sendiri pun mulai tak betah menunggu kepulangan Jumali, aku ingin mencarinya, menasehatinya, atau menamparnya agar dia sadar kalau tindakannya selama ini salah.

Dan hari ini, hari ketujuh aku menjaga amplob putih itu. Kesabaranku sudah benar-benar habis, aku tak sanggup lagi menanti Jumali. Setelah senja hampir tenggelam, aku bergegas menutup pintu, “Aku harus bisa mengajak Jumali pulang”. Namun saat aku ingin pergi, tiba-tiba kulihat Jumali berjalan terhuyung-huyung menuju ke arahku. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, gemetar, serupa orang kehujanan. Bibirnya memutih, matanya cekung.

“Li, kenapa kalau baru pulang hari ini?. Aku capek siang malam aku menjaga amplopmu” kataku setelah Jumali berada di hadapanku.

“Aku tak menyuruhmu menjaganya” sahutnya.

“Apa, Li. Begitu gampang kau bicara. Coba pikir pengorbananku, selama tujuh hari aku menjaganya. Kamu tahu kemarin seandainya aku tak menjaganya mungkin amplob itu sudah hilang. Coba pikir, Li. Pikir. Aku menjaga tanpa pamrih”

“O, kamu butuh pamrih. Baik, jika kau memang butuh pamrih akan kubayar pengorbananmu. Kau ingin apa?” Jumali mengangkat wajahnya, “Belum jadi pejabat kau sudah minta bayaran, apalagi setelah jadi pejabat. Aku tak dapat membayangkan”.

“Apa, Li. Begitu mudah kau bicara. Kukira seorang pasca sarjana tidak akan bicara seperti itu”

Jumali diam, seakan tak mendengar kata-kataku, dia menunduk sambil menyilang lengan. Getar tubuhnya semakin cepat.

Lalu perlahan Jumali kembali mengangkat wajahnya, menatap amplob dengan dua bolah mata kecil yang terjepit di pintu itu. Dan setelah agak lama menatapnya, Jumali mengambilnya dengan pelan-pelan, merobeknya dari pojok, lalu dia mengeluarkan sebuah kertas lusuh, membacanya tanpa suara hingga suasana hening seketika. Namun di tengah keheningan itu, tiba-tiba Jumali berteriak lengking.

“Ida. Ida. Ibu. Bangsaaaaaaaaat!. Juragan rentenir. Juragan biadab!”

Jumali roboh sambil memukul-mukul pintu kontrakannya, seperti orang kesetanan dalam ruang pesaksian.***

0 komentar:

=============================================================
SOBAT SILAHKAN KIRIMKAN TULISAN ANDA DI KISAH JAWILAN
=============================================================
Nama
Email
No HP
Belajar
Judul
Kategori
Tulisan
Pesan

kirimkan Photo Penulis ke email : bakronilatar@yahoo.co.id Terimakasih Telah Berpartisipasi Tulisan di Kisah Jawilan, setelah mengirimkan tulisan mohon sms ke aa Rony di +6281280485019


=======================================================================
Komentar Terbaru
VISITOR KISAH JAWILAN MOHON TINGGALKAN PESAN DISINI

Mari Gabung Disini !!!

KISAH JAWILAN DAN NEGERI SABA' © 2008 Por A H.RONY