Merger Di Langit
Dulu, ketika sedang asik-asiknya menekuni studi-studi konstruksi sosial di Inggris, kemudian menemukan serangkaian upaya untuk mencampur semua ide (dalam tema konstruksi sosial), sungguh teramat sulit untuk dimengerti.
Betapa tidak sulit, lontong dicampur dengan tahu, toge dan sayur, serta diaduk dengan bumbu kacang, jadinya memang enak, dan diberi nama gado-gado. Akan tetapi, kalau nasi dicampur dengan bunga mawar, daun pisang serta air kali Ciliwung, tidak bisa dibayangkan apa jadinya.
Kebingungan serupa juga menghinggapi saya ketika pertama kali mendengar istilah borderless world ala Kenichi Ohmae. Bagaimana batas-batas antarnegara dan antarbangsa bisa lenyap begitu saja oleh tangan-tangan kapitalisme yang bernama pasar ?. Pertanyaan yang kurang lebih sama dengan pertanyaan terakhir, juga muncul pertama kali ketika di tahun 80-an Porter mendefinisikan industri secara agak 'lain'. Industri, demikian Porter, tidak lagi diidentikkan hanya dengan kumpulan perusahaan-perusahaan dengan jenis usaha sejenis. Ia terkait ke belakang, ke depan, ke atas dan ke bawah.
Tidak hanya saya, ada banyak orang yang alisnya dibikin berkerut oleh wajah-wajah dunia dan kecenderungan yang semakin lama semakin tercampur, semakin tanpa batas, dan yang paling penting mengobrak-abrik banyak sekali definisi yang penuh dengan garis batas dan kotak.
Coba Anda perhatikan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, di mana persisnya letak garis pembatas antara ekonomi dan politik ? Cermati lagi apa yang disebut orang sebagai industri asuransi dan industri perbankan, bukankah overlap-nya sudah demikian tinggi ?. Banyak asuransi yang memiliki program tabungan. Tidak sedikit bank yang mengikutsertakan program pertanggungan.
Campuran-campuran dan adonan-adonan aneh, unik, baru dan apapun namanya, semakin lama memang akan semakin banyak. Ada negara yang berkumpul. Ada perusahaan yang berkumpul.
Di Indonesia malah campurannya lebih unik lagi. Sejumlah lembaga tinggi negara sudah tidak mengakui lagi batas-batas yang berumur lama, dan mencoba membentuk adonan-adonan baru.
Di zaman Indonesia masih bangga-bangganya dengan kemampuan membuat pesawat terbang, konon pernah diisukan kalau Indonesia bisa membuat pesawat ulang-alik yang dijamin bisa terbang dan tidak dijamin bisa kembali.
Karena karakteristik jaminannya khas Indonesia, maka dicarilah pilot yang khas Indonesia. Setelah dilakukan test tertulis terhadap ribuan calon, akhirnya yang lolos ke tahap wawancara hanya tiga orang : orang Irian, orang Betawi dan orang Padang.
Ketika ditanya tentang gaji, ketiganya menjawab dengan cara berbeda. Orang Irian yang dipanggil pertama kali meminta gaji Rp. 20 juta saja. Ketika ditanya kenapa demikian tinggi permintaannya, ia menjawab sopan : untuk tunjangan keluarga di rumah, takut kalau ada apa-apa di luar angkasa sana.
Orang Betawi lain lagi. Ia minta gaji Rp. 40 juta saja. Sambil terhenyak pewawancaranya bertanya balik : kenapa demikian tinggi ? Dengan jawaban kalem khas betawi orang ini berujar : 'dua puluh juta untuk anak isteri di rumah, dua puluh juta lagi untuk kawin lagi di luar angkasa'.
Bukan orang Padang namanya kalau tidak kreatif. Dengan mantap ia menyebut jumlah Rp. 60 juta saja. Pewawancaranya lebih terkejut lagi sambil bertanya alasannya. Dengan gaya dagang yang pas ia menjawab : 'dua puluh juta pertama buat orang Irian tadi (biar dia saja yang terbang ke luar angkasa), dua puluh juta lagi untuk dibagi-bagi oleh team pewawancara, dan dua puluh juta terakhir buat modal dagang saya di Pasar Minggu'.
Anda boleh tertawa, asal jangan tersinggung - karena ini hanya lelucon. Yang jelas, terlepas dari faktor etika dan faktor lainnya, orang Padang terakhir ternyata paling kreatif. Dan senjata kreativitasnya - sebagaimana cerita di awal tentang senangnya kecenderungan bergerak ke arah yang saling mencampur - ternyata sederhana, yakni mencampur semua kepentingan.
Entah ini serius, entah ini mengada-ada, demikianlah kecenderungan sedang berjalan. Adonan-adonan dan campuran-campuran sedang terjadi di mana-mana. Industri perbankan dan industri asuransi hanya salah satu contoh saja.
Di mana keduanya melakukan 'merger' secara amat meyakinkan. Dan bukan tidak tertutup kemungkinan, kalau nantinya semua industri bersatu jadi satu. Tidak ada batas-batas, batasnya hanya satu, yakni kemampuan kita melihatnya. Persis seperti kita melihat langit, batasnya tidak ada, hanya kemampuan kita melihatlah yang menjadi satu-satunya pembatas yang meyakinkan.
Kalau Anda setuju dengan analisa mengada-ada ini, siapkanlah kepala dan pikiran seperti kita melihat langit. Tidak hanya perbankan dan asuransi yang telah dan akan melakukan merger. Ia bisa melanda siapa saja dan di mana saja. Mirip dengan Citibank yang menggandeng siapa saja yang mungkin digandeng.
IBM dengan jaringannya yang jauh lebih lebar dari sekadar industri komputer. Demikian juga dengan dunia internet yang mencampur siapa saja ke dalam sebuah desa global. Bukan tidak mungkin, kalau semua industri akan merger di langit. Semuanya serba tanpa batas, tanpa sekat, tercampur jadi satu, dan hanya keluasan dan kejauhan pandangan masing-masinglah yang menjadi batas-batasnya.
Enlightening Tehnology
Di hampir setiap wacana yang telah mendunia, dan di hampir setiap pembicaraan tentang kecenderungan, tidak ada satupun pembicaraan yang bebas dari faktor teknologi informasi ( TI). Pengaruh teknologi jenis terakhir tidak hanya dahsyat di tingkat wacana, ia juga dahsyat di tataran realita.
Sebagai bukti pendukung, coba cermati teknologi internet yang menyatukan dunia hanya ke dalam sebuah desa global. Perhatikan juga hiruk pikuk bisnis dotcom yang datang dan hilang dalam waktu yang demikian singkat. Pagi hari diberitakan sebagai pahlawan bisnis dengan keuntungan jutaan dolar, besok sorenya diberitakan potensial bangkrut. Ini hanya mungkin terjadi di dunia dotcom.
Di dunia belajar, TI sudah menjungkirbalikkan sejarah. Dari dulu kita dibiasakan pada pola anak mudalah yang mesti belajar dari orang tua. Namun dalam dunia TI, sudah menjadi pemandangan di mana-mana, orang tualah yang harus belajar dari anak-anak muda.
Agak berbeda dengan banyak orang yang menempatkan teknologi terakhir hanya pada fungsi pendukung, saya kira TI memiliki fungsi jauh lebih penting dari sekadar fungsi pendukung. Fungsi supporting memang merupakan fungsi TI yang paling tradisional.
Kemudian, karena perkembangan dalam dirinya, sekaligus perkembangan dinamika di luar dirinya hadirlah fungsi automating, di mana ia membuat sejumlah cara kerja dan cara hidup menjadi lebih otomatis. ATM, telephone banking, hanyalah sebagian dari fungsi-fungis automating tadi.
Tidak berhenti di sini, ia juga berkembang ke dalam fungsi informating. Membuat informasi berjalan cepat dan akurat. Bahkan bisa menyatukan dunia ke dalam sebuah sistim informasi yang life. Apa yang terjadi detik ini juga bisa diketahui dari belahan dunia yang lain. Kinerja jaringan berita CNN yang mengagumkan dan on line office hanyalah sekadar contoh.
Lebih dari sekadar membantu penyebaran informasi, belakangan teknologi ini juga ikut memformat ulang cara kita hidup dan bekerja (reformatting). Lihat saja cara kerja kita yang berobah total gara-gara kehadiran TI. Bermodalkan telepon seluler, sebuah komputer jinjing, serta PDA (personal digital assistant) yang semuanya serba kecil dan ringan, saya bisa mengelola perusahaan dengan dua ribu karyawan di Jawa Tengah dan sebuah perusahaan konsultan di Jakarta, dari sebuah desa terpencil di Bali Utara sana.
Kendati fungsinya sudah demikian banyak, toh TI masih berlari. Ia juga hadir sebagai inspiration technology -- demikian Compaq menyebutnya. Dan tidak keliru, karena teknologi jenis terakhir ini memang telah menjadi sumber inspirasi yang amat mengagumkan. Ia hadir dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas.
Mirip dengan pesan seorang rekan warga negara Amerika yang pernah berpesan ke saya : 'The difference between the impossible and the possible lies in our imagination, which is the beginning of our success or failure'. Dengan demikian, kemampuan kita berimajinasi - sebagai awal dari keberhasilan atau kegagalan - ditentukan sebagian oleh kemampuan kita menguasai TI.
Banyak hal tidak mungkin jadi mungkin gara-gara TI. Sekadar contoh sederhana, di desa saya yang terpencil sana belum ada fasilitas telepon dari Telkom, tetapi telepon seluler digunakan banyak orang di sana. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau desa kecil ini bisa melompat dalam teknologi komunikasi. Tanpa melalui telepon biasa, sudah melompat menuju telepon seluler.
Dengan modal imajinasi, tidak tertutup kemungkinan TI bisa menjadi enlightening technology. Teknologi yang mencerahkan hidup banyak orang. Tidak hanya bisnis esek-esek dan selingkuh yang diuntungkan oleh teknologi ini, kehidupan pencerahan juga diuntungkan.
Bayangkan, kalau Anda bisa bekerja dari mana saja - bahkan dari puncak gunung yang sepi sekalipun - bukankah kemudian Anda dan saya bisa melaksanakan kegiatan meditasi tanpa mengurangi waktu kerja ? Lebih dari sekadar bisa bermeditasi sambil bekerja, tumpukan-tumpukan informasi bisa jauh dikurangi dari kepala. Saya menyimpannya di personal digital assistant atau note book.
Dalam beban kepala yang demikian berkurang - paling tidak beban menyimpan informasi - bukankah keheningan dan kejernihan mudah sekali berkunjung ? Apa lagi dengan hadirnya mobile internet, saya bisa mengakses dan berguru pencerahan dari guru-guru tingkat dunia sambil menunggu pesawat di bandar udara. Belum lagi teknologi yang berwujud multi media. Telepon seluler dilengkapi PDA, musik, mesin fax, kamera dan masih banyak lagi yang lain. Ia tidak hanya mempermudah kehidupan, tetapi juga mencerahkan.
Di suatu sore yang melelahkan, di pinggiran jalan Sudirman Jakarta ada tiga pengemis yang mengadu nasib dengan cara yang berbeda. Pengemis pertama yang hanya menerima rezeki sepuluh ribu rupiah hari itu mengeluh ke rekannya yang lain. Sebab rekannya yang kedua bisa menghasilkan seratus ribu hari itu. Setelah dicermati, eh rupanya gelas yang digunakan sebagai tempat uang pengemis kedua diberi tulisan 'lapar.com'.
Pengemis ketiga lebih hebat lagi, ia bisa menghasilkan satu juta hari itu. Dan ketika ditanya apa yang dia ditulis di gelas tempat uangnya. Ia menjawab yakin : 'e-lapar'. Masih ada plusnya, pengemis ketiga ini didatangi seorang manajer dari perusahaan terkemuka mengajak untuk segera IPO. Barangkali Anda bisa memberi tahu, termasuk fungsi TI yang manakah lelucon terakhir ?
Semuanya Bermula Dari Sini
Ada sebuah film yang sempat menarik perhatian saya. Ia berjudul Flat Liners. Di layar kaca HBO film ini sudah diputar lebih dari dua kali. Demikian tertariknya saya, sampai-sampai sempat menonton sampai dua kali. Film yang bertutur tentang eksperimen sejumlah mahasiswa kedokteran tentang kematian ini, cukup menggugah kesadaran saya akan makna hidup.
Betapa tidak menggugah, di gerbang kematian - sebagaimana dituturkan film ini - orang tidak membawa harta, nama besar, apa lagi pujian orang lain. Dan yang harus kita bawa adalah perbuatan-perbuatan kita selama hidup. Mengingat perbuatan setiap orang berbeda, maka dari lima mahasiswa kedokteran yang pernah mengalami kematian beberapa detik ini, pengalamannya amat berbeda.
Boleh saja sutradara film ini menyimpulkannya demikian. Namun, dari segi lain film ini menghadirkan makna berbeda bagi saya. Banyak orang sudah tahu, kalau gerakan alat pendeteksi jantung menunjukkan gerakan grafik yang berbeda, antara orang sehat dan sakit, apa lagi antara orang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Yang jelas, orang masih hidup memiliki gerakan grafik naik turun. Sedangkan orang sudah meninggal, bergerak datar tanpa siklus naik turun.
Ini memang pekerjaan teknologi. Tapi bagi saya ia menghadirkan perlambang makna yang tidak dangkal. Sebagaimana kita rasakan sendiri, setiap manusia hidup yang manapun selalu - sekali lagi selalu - menjalani siklus.
Setelah suka ada duka. Sehabis gelap ada terang. Siang berganti malam. Masa berkuasa berganti masa pensiun. Tidak ada yang bisa melawan hukum ini. Kahlil Gibran bahkan menulisnya secara amat indah : 'ketika kita bercengkerama di kamar tamu dengan kebahagiaan, kesedihan sedang menunggu di kamar tidur'. Ini berati, kita hidup serumah dengan kebahagiaan dan kesedihan. Bagaimana kita bisa menghindar dan buang muka dari orang yang hidup serumah dengan kita ?
Tidak ada orang yang mengenal secara eksak apa yang terjadi setelah kematian. Namun, melihat paralel antara siklus gerakan alat pendeteksi jantung, dengan siklus hidup manusia yang mengenal naik turun, jangan-jangan kematian adalah awal dari kehidupan tanpa siklus. Dia datar dalam semua cuaca. Ini memang hanya sebuah spekulasi yang perlu pendalaman-pendalaman, dan pembuktian-pembuktian.
Pada sejumlah agama dan keyakinan yang saya tahu, kematian adalah awal dari proses pemurnian dan pembersihan. Atau dalam bahasa sebuah pilosopi timur, kembali ke titik nol. Di titik nol memang tidak ada positif maupun negatif. Tidak ada naik dan turun. Tidak ada besar dan kecil.
Mirip dengan garis yang mendatar. Entah benar entah salah, inilah yang disebut sejumlah orang dengan terminologi seperti kemurnian, pencerahan, pembersihan jiwa.
Dalam posisi seperti ini, manusia tidak lagi memerlukan atribut-atribut seperti harta, kekuasaan, dan pujian. Semua ini menjadi tidak relevan, karena baik harta, kekuasaan, maupun pujian adalah angka-angka absolut yang mengenal siklus naik-turun. Lebih dari sekadar tidak butuh atribut, kemurnian dan pencerahan pada titik nol ini, juga menghadirkan kekebalan-kekebalan. Stres, penyakit, gangguan orang lain dalam bentuk apapun, tidaklah banyak pengaruhnya terhadap badan dan jiwa yang sudah sampai titik nol.
Dalam kejernihan saya ingin bertutur ke Anda, semuanya berawal dan berakhir di sini (baca : titik nol). Mirip dengan cerita Miyamoto Musashi, ketika Musashi dalam kebingungan berat dan kemudian bertanya ke gurunya. Sang guru hanya menjawab dengan sebuah gambar lingkaran di tanah.
Saya pribadi memang kadang bertemu titik nol tadi, kadang juga tidak. Maklum, masih menyandang status manusia hidup yang biasa. Lebih-lebih dalam tekanan-tekanan pekerjaan dan tekanan hidup yang berat.
Siklus naik turun bergerak dalam ritme yang lebih besar dari biasanya. Akan tetapi, pada saat kita bisa melampaui suka-duka, naik-turun, kaya-miskin (sampai di titik nol), maka badan dan jiwa ini terasa amat ringan tanpa beban sedikitpun.
Mungkin lebih ringan dari kapas dan udara. Tidak ada beban masa lalu yang berat. Tidak ada ketakutan hari ini yang mengganggu. Apa lagi kekhawatiran akan masa depan. Semuanya hilang dan lenyap ditelan kesadaran.
Tentu ada yang bertanya, mampukah setiap orang mencapai titik nol ? Beban dan bekal orang hidup memang berbeda-beda. Ibarat berjalan jauh, ada yang membawa tas gendong berat, ada juga yang ringan.
Dan yang membuat semuanya jadi berat dan ringan hanyalah satu : kualitas rasa syukur kita pada sang hidup dan kehidupan. Dalam kualitas rasa syukur yang tinggi, kesadaran muncul seperti sayap yang membuat semuanya jadi ringan.
Boleh saja ada orang yang meragukan hubungan antara rasa syukur dengan kesadaran. Dan bagi saya, dua hal ini seperti hubungan ibu anak. Rasa syukur adalah ibunya kesadaran.
Coba saja perhatikan sendiri di lingkungan masing-masing, bukankah orang-orang yang tidak puas dan tidak pernah bersyukur, kesadarannya terbungkus oleh banyak sekali hal ? Keserakahan akan harta, terlalu bernafsu pada kekuasaan, kecemburuan pada prestasi orang lain, ketakutan kehilangan kursi kekuasaan, terlalu bernafsu untuk segera duduk di kursi kekuasaan, hanyalah sebagian bungkus kesadaran, yang diakibatkan oleh keringnya rasa sykur. Titik nol - sebagai awal dari semua hal - tentu saja amat dan teramat sulit dicapai dalam kehidupan seperti ini.
Kalah Itu Indah
Entah dari mana asal usulnya, entah mulai dari wacana, entah dari masyarakat dengan ciri ego centered society, entah merupakan ekses negatif dari individualisme berlebihan, yang jelas wacana kita - di dunia politik, bisnis maupun dunia lainnya - sangat dominan diwarnai oleh kecenderungan hanya mau menang. Jarang sekali - kalau tidak mau dikatakan tidak ada - ada pihak-pihak yang secara ikhlas rela kalah.
Ibarat turnamen sepak bola, juara satunya selalu satu. Sedangkan yang bukan juara satu selalu jumlahnya lebih banyak dari satu. Sehingga kalau dilakukan adu jotos antara totalitas manusia yang kalah dengan mereka yang menang, maka juara satunya pasti babak belur.
Dalam perspektif seperti ini, apa yang terjadi di dunia politik khususnya di bulan-bulan terakhir ini sebenarnya mencerminkan tiga hal penting. Pertama, tidak ada pihak yang mau kalah. Seolah-olah kalah adalah barang haram dan hina dina. Kedua, siapa saja yang jadi pemenang hampir selalu berada pada posisi tersiksa diserang dari kiri-kanan. Ketiga, sebagai akibat dari point pertama dan kedua tadi, maka arena politik kita lebih mirip dengan arena kerusuhan, dibandingkan turnamen sepak bola plus nilai-nilai sportivitasnya.
Mari kita mulai dengan point pertama tentang tiadanya orang yang mau kalah. Dengan sedikit kejernihan saya ingin mengajak Anda bertutur, dalam turnamen olah raga umumnya, kalah disamping menjadi resiko bagi siapa saja yang mau ikut pertandingan, kalah sebenarnya bersifat mulia.
Dikatakan mulia, karena di bahu pihak-pihak yang kalahlah nasib kemeriahan dan kedamaian pertandingan ditentukan. Untuk menang, Anda dan saya tidak memerlukan kearifan dan kebesaran jiwa. Semuanya serba menyenangkan, bermandikan tepuk tangan dan kekaguman orang, dan yang paling penting keluar dari lapangan berselimutkan pujian banyak orang. Namun untuk kalah, ceritanya jauh sekali berbeda. Ejekan dan makian orang memang kadang datang. Usaha kita memang terasa sia-sia. Banyak mata yang tadinya bersahabat jadi bermusuhan.
Akan tetapi, di balik semua ejekan dan hinaan tadi tersembunyi danau-danau kemuliaan yang amat luas. Fundamen dasar bangunan demokrasi masyarakat manapun, dibangun di atas jutaan bahu manusia-manusia yang kalah.
Tidak ada satupun bangsa bisa membuat dirinya jadi demokratis tanpa fundamen terakhir. Dengan kata lain, keindahan demokrasi - kalau mau jujur - lebih banyak ditentukan oleh pihak yang kalah. Keindahan tadi berubah menjadi kemuliaan, karena sudah disebut kalah plus seluruh makian orang banyak, tetapi malah lebih menentukan nasib orang banyak.
Anda bisa bayangkan nasib Jepang yang berganti Perdana Menteri demikian sering, nasib Amerika yang telah berganti presiden puluhan kali, serta nasib bangsa-bangsa lain yang sudah berganti pemimpin demikian sering. Tanpa kebesaran jiwa pihak yang kalah, setiap pergantian pemimpin akan ditandai oleh kemunduran akibat kerusuhan-kerusuhan yang tidak perlu.
Ini dari segi pihak yang kalah. Dari segi pemenang, menang memang menghadirkan banyak kemewahan-kemewahan. Kekaguman, tepuk tangan, jumlah pengikut yang bertambah, sampai dengan kekuasaan yang menyilaukan. Semua ini memang buah hasil dari perjuangan panjang dan melelahkan.
Bagi banyak pemenang, ini memang hadiah yang layak diterima. Hanya saja, sadar bahwa bangunan institusi demokrasi di manapun senantiasa dibangun di atas jutaan bahu-bahu manusia kalah, selayaknya pemenang sadar di atas bangunan apa mereka berdiri.
Dalam bangunan fisik yang sebenarnya, fundamennya adalah bata, pasir, semen dan barang-barang mati lainnya. Bangunan demokrasi berdiri di atas bahu-bahu manusia kalah yang hidup, dinamis, mengenal emosi dan kalkulasi-kalkulasi politik.
Makanya, sungguh mengagumkan bagi saya, ketika George W. Bush memulai pidato pertamanya sebagai presiden AS dengan kalimat indah seperti ini : 'I was not elected as President to serve one party, but to serve one nation'.
Lepas dari keindahan-keindahan demokrasi negara lain, suka tidak suka kita sedang berhadapan dengan arena politik yang jauh dari indah. Entah mana yang benar, seorang sahabat menyebut kalau orang kalah yang tidak tahu dirilah yang menjadi biang dari kondisi kita.
Ada juga yang berargumen, pemenang yang sombong dan angkuhlah yang menjadi awal semuanya. Dan bagi saya, semuanya sudah tercampur menjadi adonan-adonan kerusuhan yang mengerikan dan menakutkan.
Sebagaimana sulitnya memisahkan campuran bubur ayam yang sudah demikian menyatu, memisahkan kedua campuran adonan kerusuhan ini memang amat sulit - kalau tidak mau disebut niscaya. Apapun solusinya, kita semua memiliki kepentingan untuk mendidik generasi masa depan bahwa tidak hanya kemenangan yang menghasilkan keindahan, kalah juga bisa berakhir indah.
Kemenangan memang menghasilkan banyak kegembiraan dan kebanggaan. Namun kekalahan adalah gurunya kesabaran, kearifan dan kebijaksanaan yang tidak ada tandingannya. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh kemenangan manapun.
Dan yang paling penting, siapa saja yang kalah, kemudian bisa keluar dari ring pertandingan dengan tersenyum ikhlas dan menyalami pemenangnya, plus membantu pemenang dalam kenyataan sehari-hari demi kemajuan bersama, merekalah pemimpin kita yang sebenarnya. Kendati tanpa jabatan, pasukan, kekuasaan, tahta, pujian dan tepuk tangan orang lain, merekalah the true leaders. Punyakah kita the true leaders seperti itu ?.
Selingkuh Tiada Akhir
Karena sudah lama mencintai kegiatan tertawa, ada saja teman yang bersedia membagi cerita ke saya. Alkisah, ada seorang wanita yang amat setia pada suaminya. Tidak pernah sekalipun, ia melakukan kegiatan perselingkuhan. Oleh karena itu, bisa dimaklumi kalau ketika meninggal ia masuk surga. Dan yang paling penting, ia berangkat ke surga dengan mengemudikan mobil mewah Jaguar.
Tetangga wanita tadi lain lagi. Ketika ditanya oleh petugas pintu surga dan neraka, apakah ia pernah selingkuh atau tidak, dengan jujur ia menjawab, hanya pernah selingkuh sepuluh kali. Menyadari, bahwa angka sepuluh terakhir masih di bawah rata-rata, maka tetangga inipun bisa masuk surga. Bedanya, ia pergi ke surga hanya dengan menaiki Toyota Kijang.
Alangkah terkejutnya pengemudi Kijang terakhir, ketika menemui wanita tetangganya yang naik Jaguar tadi, berhenti di tengah jalan sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa kali ditanya, tetap saja tidak bisa menjawab karena hisak tangisnya yang tidak berhenti-berhenti.
Ketika semua air matanya habis, sambil menyesal ia bertutur : 'bukannya saya tidak mensyukuri naik Jaguar, namun ketika menoleh ke jalan bawah sana, dengan terang kelihatan kalau suami saya sedang menuju ke sini hanya dengan mengendarai sepeda'.
Demokrasi sudah lama memasuki wilayah tawa. Jadi, Anda bebas sebebas-bebasnya tertawa dengan cerita ini. Hanya saja, setiap kali saya membaca dan mendengar kisah republik ini yang demikian terpuruknya - lengkap dengan banknya yang terkena negative spread, serta nilai rupiahnya yang tidak kunjung menggembirakan - saya teringat lagi lelucon di atas.
Antara lelucon di atas di satu sisi, dengan krisis ekonomi Indonesia di lain sisi, sepintas memang tidak ada hubungannya. Atau kalau dicari hubungannya, hanya akan mencari-cari saja. Entah di dunia lelucon, atau di dunia ilmiah, sebenarnya keduanya disatukan oleh sebuah benang merah : mau bepergian, membeli tiket pesawat, tapi tidak tahu tujuannya mau ke mana.
Serupa dengan sang suami yang naik sepeda ke surga, demikian juga nasib ekonomi dan perbankan di negeri ini. Kesakitan, lelah, habis keringat dikuras oleh kegiatan-kegiatan yang tidak jelas mau kemana. Coba lihat intervensi BI untuk memperkuat rupiah, ia seperti menggarami laut.
Perhatikan saja kebijakan geregetan di sektor perpajakan, ia lebih menyerupai kepanikan dibandingkan kejernihan. Cermati juga cara sejumlah bank besar melakukan ekspansi, ia mirip dengan kegiatan menjaring air kolam. Demikian juga penanganan banyak bank dalam memecahkan masalah negative spread, politisi dalam mencari jalan keluar, atau juga perseteruan MPR/DPR dengan presiden dalam mencari jalan keluar.
Tidak jauh berbeda dengan orang bepergian yang mesti mulai dengan tujuan, demikian juga dengan pengelolaan perekonomian dan perbankan. Kebijakan dan strategi yang dibangun di atas tujuan yang tidak jelas, hanya akan membawa kita pada kepanikan-kepanikan baru.
Demikian banyak dan menumpuknya kepanikan, sampai-sampai banyak orang tidak sadar lagi, kalau sedang menaiki pesawat yang terbang tinggi dengan kecepatan yang tinggi juga, tapi tidak memiliki tujuan.
Sebagaimana kita semua sudah tahu, seberapa cepatpun kita terbang, tidak akan pernah bisa sampai di tujuan, kalau tujuannya tidak jelas dari awal hingga akhir. Ia hanya akan membuat semua orang berputar lelah di wilayah yang tanpa arah.
Kadang ada sahabat yang bertanya : kenapa setelah demikian banyak intelektual yang dihasilkan negeri ini, toh kita semakin terpuruk dengan krisis-krisis berikutnya ?. Entah bagaimana pendapat Anda, bagi saya intelektualitas bukanlah segala-galanya. Ia hanyalah salah satu sudut pandang, di tengah banyak sekali sudut pandang lainnya.
Tujuan dan kebenaran lainnya, lebih mungkin didekati, kalau kita bersedia merangkum, merangkai dan menggandengkan beragam pendekatan ini. Seperti cermin yang sudah pecah, wajah kita akan tampil utuh, kalau kegiatan merangkai terakhir bisa dilakukan.
Sayangnya, kegiatan merangkai inilah yang sulit sekali dilakukan di negeri ini. Ekonom menuduh polititisi sebagai biang keladi. Politisi mengatakan ekonom tidak becus dalam membangun fundamen-fundamen ekonomi. Dan seterusnya tanpa mengenal kata henti. Seolah-olah, semua orang sedang 'berselingkuh' demikian asiknnya dengan kebenaran dan profesi masing-masing. Maka jadilah negeri ini sebuah skandal 'selingkuh' terbesar.
Bagaimana tidak terbesar, bila suami atau isteri yang berselingkuh, ia masih dihinggapi perasaan bersalah dan berdosa. Ekonom, politisi dan pembela-pembela kebenaran parsial lainnya, berselingkuh tanpa menyadari sedikitpun kekeliruannya.
Mungkin benar anggapan semua orang, bahwa kita memang sekumpulan manusia yang amat 'setia' pada bangsa dan negara. Dan salah seorang sahabat yang entah melawak entah frustrasi, menyebut setia itu kepanjangannya adalah selingkuh tiada akhir. Dan bahkan tulisan inipun sebenarnya bentuk lain dari selingkuh. Bagaimana tidak selingkuh, kalau hanya bermodalkan selembar halaman majalah, namun mau menyelesaika persoalan bangsa ?
Semuanya Bermula Dari Sini
Ada sebuah film yang sempat menarik perhatian saya. Ia berjudul Flat Liners. Di layar kaca HBO film ini sudah diputar lebih dari dua kali. Demikian tertariknya saya, sampai-sampai sempat menonton sampai dua kali. Film yang bertutur tentang eksperimen sejumlah mahasiswa kedokteran tentang kematian ini, cukup menggugah kesadaran saya akan makna hidup.
Betapa tidak menggugah, di gerbang kematian - sebagaimana dituturkan film ini - orang tidak membawa harta, nama besar, apa lagi pujian orang lain. Dan yang harus kita bawa adalah perbuatan-perbuatan kita selama hidup. Mengingat perbuatan setiap orang berbeda, maka dari lima mahasiswa kedokteran yang pernah mengalami kematian beberapa detik ini, pengalamannya amat berbeda.
Boleh saja sutradara film ini menyimpulkannya demikian. Namun, dari segi lain film ini menghadirkan makna berbeda bagi saya. Banyak orang sudah tahu, kalau gerakan alat pendeteksi jantung menunjukkan gerakan grafik yang berbeda, antara orang sehat dan sakit, apa lagi antara orang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Yang jelas, orang masih hidup memiliki gerakan grafik naik turun. Sedangkan orang sudah meninggal, bergerak datar tanpa siklus naik turun.
Ini memang pekerjaan teknologi. Tapi bagi saya ia menghadirkan perlambang makna yang tidak dangkal. Sebagaimana kita rasakan sendiri, setiap manusia hidup yang manapun selalu - sekali lagi selalu - menjalani siklus. Setelah suka ada duka. Sehabis gelap ada terang. Siang berganti malam.
Masa berkuasa berganti masa pensiun. Tidak ada yang bisa melawan hukum ini. Kahlil Gibran bahkan menulisnya secara amat indah : 'ketika kita bercengkerama di kamar tamu dengan kebahagiaan, kesedihan sedang menunggu di kamar tidur'. Ini berati, kita hidup serumah dengan kebahagiaan dan kesedihan. Bagaimana kita bisa menghindar dan buang muka dari orang yang hidup serumah dengan kita ?
Tidak ada orang yang mengenal secara eksak apa yang terjadi setelah kematian. Namun, melihat paralel antara siklus gerakan alat pendeteksi jantung, dengan siklus hidup manusia yang mengenal naik turun, jangan-jangan kematian adalah awal dari kehidupan tanpa siklus. Dia datar dalam semua cuaca. Ini memang hanya sebuah spekulasi yang perlu pendalaman-pendalaman, dan pembuktian-pembuktian.
Pada sejumlah agama dan keyakinan yang saya tahu, kematian adalah awal dari proses pemurnian dan pembersihan. Atau dalam bahasa sebuah pilosopi timur, kembali ke titik nol. Di titik nol memang tidak ada positif maupun negatif. Tidak ada naik dan turun. Tidak ada besar dan kecil. Mirip dengan garis yang mendatar. Entah benar entah salah, inilah yang disebut sejumlah orang dengan terminologi seperti kemurnian, pencerahan, pembersihan jiwa.
Dalam posisi seperti ini, manusia tidak lagi memerlukan atribut-atribut seperti harta, kekuasaan, dan pujian. Semua ini menjadi tidak relevan, karena baik harta, kekuasaan, maupun pujian adalah angka-angka absolut yang mengenal siklus naik-turun. Lebih dari sekadar tidak butuh atribut, kemurnian dan pencerahan pada titik nol ini, juga menghadirkan kekebalan-kekebalan. Stres, penyakit, gangguan orang lain dalam bentuk apapun, tidaklah banyak pengaruhnya terhadap badan dan jiwa yang sudah sampai titik nol.
Dalam kejernihan saya ingin bertutur ke Anda, semuanya berawal dan berakhir di sini (baca : titik nol). Mirip dengan cerita Miyamoto Musashi, ketika Musashi dalam kebingungan berat dan kemudian bertanya ke gurunya. Sang guru hanya menjawab dengan sebuah gambar lingkaran di tanah.
Saya pribadi memang kadang bertemu titik nol tadi, kadang juga tidak. Maklum, masih menyandang status manusia hidup yang biasa. Lebih-lebih dalam tekanan-tekanan pekerjaan dan tekanan hidup yang berat. Siklus naik turun bergerak dalam ritme yang lebih besar dari biasanya. Akan tetapi, pada saat kita bisa melampaui suka-duka, naik-turun, kaya-miskin (sampai di titik nol), maka badan dan jiwa ini terasa amat ringan tanpa beban sedikitpun.
Mungkin lebih ringan dari kapas dan udara. Tidak ada beban masa lalu yang berat. Tidak ada ketakutan hari ini yang mengganggu. Apa lagi kekhawatiran akan masa depan. Semuanya hilang dan lenyap ditelan kesadaran.
Tentu ada yang bertanya, mampukah setiap orang mencapai titik nol ? Beban dan bekal orang hidup memang berbeda-beda. Ibarat berjalan jauh, ada yang membawa tas gendong berat, ada juga yang ringan. Dan yang membuat semuanya jadi berat dan ringan hanyalah satu : kualitas rasa syukur kita pada sang hidup dan kehidupan. Dalam kualitas rasa syukur yang tinggi, kesadaran muncul seperti sayap yang membuat semuanya jadi ringan.
Boleh saja ada orang yang meragukan hubungan antara rasa syukur dengan kesadaran. Dan bagi saya, dua hal ini seperti hubungan ibu anak.
Rasa syukur adalah ibunya kesadaran. Coba saja perhatikan sendiri di lingkungan masing-masing, bukankah orang-orang yang tidak puas dan tidak pernah bersyukur, kesadarannya terbungkus oleh banyak sekali hal ? Keserakahan akan harta, terlalu bernafsu pada kekuasaan, kecemburuan pada prestasi orang lain, ketakutan kehilangan kursi kekuasaan, terlalu bernafsu untuk segera duduk di kursi kekuasaan, hanyalah sebagian bungkus kesadaran, yang diakibatkan oleh keringnya rasa sykur. Titik nol - sebagai awal dari semua hal - tentu saja amat dan teramat sulit dicapai dalam kehidupan seperti ini.
Menemukan Kebaikan Di Mana-Mana
Ada sebuah keluhan yang hampir selalu muncul di setiap pembicaran tentang stres. Tanpa mengenal kondisi dan situasi, ada banyak orang yang mengeluhkan peran orang lain. Dari tuduhan orang lain itu tidak mau mengerti, cenderung menipu, jahat, tidak mau membantu, bikin kesal, sampai dengan tuduhan orang lain sebagai biang stres. Ada bahkan yang menyebutkan bahwa dirinya jarang sekali bertemu orang baik.
Izinkan saya membagi eksperimen saya dalam kehidupan. Hampir setiap minggu saya terbang. Dan sekretaris saya hafal betul, kalau sebelum melakukan confirm terhadap tiket, ia harus menemukan tempat duduk agak di depan dan di lorong. Dulu, sering sekali setiap check in di bandara, saya menginformasikan bahwa sekretaris saya sudah book tempat duduk di depan dan lorong.
Dan sering kali juga tidak kebagian tempat yang saya inginkan. Tidak jarang hati ini dibuat kesal. Sempat mengira kekeliruan ada di sekretaris. Namun, belakangan pendekatan saya dalam melakukan check in dirubah. Tidak lagi menyebutkan bahwa sekretaris sudah book tempat duduk, dengan ekspresi penuh senyuman saya katakan begini : 'saya akan senang sekali kalau dapat tempat duduk di depan dan di lorong'. Sebagai hasilnya, belum pernah sekalipun saya dikecewakan.
Apa yang mau diilustrasikan cerita ini sebenarnya sederhana, kalau kita mau merubah pendekatan kita pada orang lain, banyak orang dengan amat suka rela membagi kebaikan dengan kita. Modalnyapun tidak terlalu mahal : senyum, keyakinan bahwa orang lain baik, dan memperlakukan mereka sebagaimana kita ingin diperlakukan orang. Dan saya memetik banyak sekali manfaat dari cara ini. Bahkan orang yang tadinya amat tidak bersahabatpun bisa berubah menjadi baik dengan pendekatan ini.
Ada harga yang harus dibayar tentunya. Gengsi dan harga diri hanya sebagian saja dari kekuatan yang mesti dikelola dalam hal ini. Belum lagi emosi, marah dan sejenisnya.
Seorang guru meditasi pernah bertutur sebuah cara yang berhasil menurunkan gengsi saya secara amat drastis. Di tempat Anda duduk sekarang ini, cobalah tutup mata sebentar. Ajaklah sang fikiran melompat ke belakang seratus tahun, enam ratus dan bahkan dua ribu tahun.
Kemudian, lompatkan lagi fikiran ke seribu tahu ke depan. Gambarkan secara jelas, kehidupan di tempat ini pada tahun-tahun tadi. Dalam perjalanan waktu tadi, kemudian lihat diri Anda yang sedang duduk. Bukankah diri ini tidak lebih dari sebutir pasir di tengah samudera ? Setetes air di lautan yang amat luas ? Pertanyaannya kemudian, layakkah membesar-besarkan diri dengan gengsi dan harga diri di tengah-tengah kekerdilan macam ini ?
Lama sempat saya dibuat merenung oleh latihan kecil ini. Sempat juga tidak percaya. Namun, dalam pemahaman yang lebih dalam, dia banyak menyelamatkan diri ini dari perangkap gengsi dan harga diri. Dulu, ada perasaan kurang enak kalau naik pesawat kelas ekonomi. Sekarang, ia bukan lagi menjadi halangan berarti. Dulu, ada kebutuhan agar dikagumi orang lain setelah menulis.
Sekarang, dia tidak lagi menjadi syarat dan motivasi menulis. Dulu, ada perasaan tersinggung kalau ada pertanyaan orang dalam seminar yang memojokkan. Sekarang, dia malah menjadi sahabat kedewasaan dan kesabaran.
Setelah gengsi dan harga diri, sarana berikutnya agar menemukan sebanyak mungkin kebaikan adalah senyum. Inilah sarana murah namun amat meriah hasilnya. Baik mencakup materi maupun non materi.
Pariwisata Bali, Singapore Airline hanyalah sebagian kecil contoh, bagaimana senyum bisa menghasilkan sejumlah kedahsyatan. Di tingkatan individu, senyum tidak saja merubah wajah seseorang menjadi lebih menarik, tetapi juga menciptakan magnet yang bisa menarik kebaikan orang lain.
Saya punya seorang rekan yang memiliki mimik muka selalu senyum. Lebih-lebih ditambah dengan lesung pipit kecil di pipinya. Didorong oleh keingintahuan akan dampak senyum, saya bertanya tentang jumlah sahabat yang dia miliki. Ternyata dia memiliki sahabat di mana-mana. Dalam banyak kejadian, dia bahkan dibantu banyak orang secara amat suka rela.
Di Amerika sana ada seorang tua yang berhasil merubah tidak sedikit anak amat nakal menjadi manusia biasa dan sebagian lagi menjadi anak baik. Tidak sedikit anak-anak pembunuh yang berhasil dirubahnya. Ketika ditanya rahasianya, dia mengatakan tidak punya rahasia. Kalaupun ada rahasia, rahasia tadi ditulis besar-besar di gerbang depan rumahnya yang bertuliskan : there is no such thing as bad kids. Tidak ada anak yang pada dasarnya nakal.
Nah inilah sarana terakhir - setelah menundukkan gengsi dan menebar senyum - dalam usaha menemukan kebaikan di mana-mana : meyakini bahwa orang lain itu baik. Kalau pembunuh saja bisa dirubah dengan cara ini, apa lagi orang biasa.
Saya masih teringat betul komentar rekan-rekan ketika saya dan isteri menikah di umur muda. Tidak sedikit yang meramalkan kami akan cerai tiga bulan kemudian - terutama karena saya memiliki banyak kekurangan.
Sekarang, setelah puteri kami yang tertua sebentar lagi berumur tujuh belas tahun, tidak jarang isteri saya menelpon dari tempat yang amat jauh hanya untuk berucap singkat : dad I love you !. Kalau Anda tanya rahasianya, tentu saja semuanya sudah saya ungkapkan dalam tulisan pendek ini.
Jatuh Cinta Setiap Hari
Setiap orang dewasa yang normal pernah mengalami jatuh cinta. Dalam keadaan terakhir, dunia rasanya hanya milik kita sepasang. Semua hal kelihatan indah dan penuh kenikmatan. Jangankan kelebihan, kekuranganpun amat mudah diterima sebagai sebuah sisi yang mengandung unsur menyenangkan.
Setiap tarikan nafas, seperti menghirup bau harum nan segar di pegunungan. Kalau bisa, mesin waktupun mau dibuat berhenti. Sehingga kondisi hidup yang serba menyenangkan bisa bertahan selamanya.
Sekarang bayangkan sebuah lingkungan kerja yang dihuni hanya oleh manusia-manusia yang pekerjaannya hanya satu : jatuh cinta. Hari ini jatuh cinta pada pekerjaan. Besoknya jatuh cinta pada diri sendiri. Lusa jatuh cinta pada istri. Tiga hari kemudian jatuh cinta pada anak-anak di rumah.
Empat hari berikutnya jatuh cinta pada orang tua. Lima hari terakhir jatuh cinta pada mertua. Singkat kata, lima hari kerjanya diisi penuh oleh jadwal jatuh cinta. Siklus kerja mingguan penuh dengan warna dan spirit hidup jatuh cinta.
Mari kita mulai dengan jatuh cinta pada pekerjaan. Tidak banyak orang yang bisa hidup 'mewah' dengan mengganti pekerjaan setiap kali tidak suka. Kalaupun ada orang pintar yang mudah diterima di sana-sini, pada suatu titik ada juga batas kebosanan dari kegiatan pindah-pindah kerja.
Salah seorang kutu loncat sahabat saya, bahkan bertutur bosan bahwa yang namanya jadi pekerja di manapun cirinya hanya dari itu ke itu saja. Belajar dari sini, bagi mereka yang mengira bahwa tempat kerja di tempat lain lebih baik dibandingkan tempat sekarang, mungkin sudah saatnya melakukan refleksi ulang.
Di tempat kerja manapun ada masalah, tantangan, orang yang tidak cocok, konflik, dan deretan hal sejenis. Bahkan setelah jadi pengusahapun, deretan hal tadi akan senantiasa hadir. Kalau berkaitan dengan kenaikan gaji, promosi jabatan dan hal-hal menyenangkan lainnya, kita tidak memerlukan usaha untuk menerimanya dengan ikhlas. Namun bekaitan dengan hal-hal negatif seperti tidak cocok dengan orang lain, konflik, masalah, diperlukan banyak usaha agar kita bisa jatuh cinta pada pekerjaan.
Jatuh cinta kedua yang amat penting adalah jatuh cinta pada diri sendiri. Orang yang teramat sering jatuh cinta pada dirinya - apa lagi senantiasa awas akan bahaya kesombongan - sebenarnya sudah sampai pada titik lebih tinggi dari sekadar bahagia. Bahagia masih dibayang-bayangi oleh kesedihan. Namun, pencinta diri sendiri secara penuh, tidak lagi dikejar bayangan kesedihan, atau mengejar bayangan kebahagiaan. Bayangan itu sendiri sudah tidak ada dan menyatu dengan sang aku.
Bagi saya, tidak ada orang yang lebih beruntung dari orang yang sudah sampai di titik ini. Di tempat manapun, di waktu kapanpun, dan bersama siapapun, ia selalu bercumbu dengan sang aku. Suka-duka, sedih-bahagia, siang-malam, rindu-benci, dan dikotomi hidup sejenis, sudah musnah bersamaan dengan jatuh cinta dia pada sang aku. Tidak ada penolakan terhadap sang aku, yang ada hanya penerimaan. Tidak ada keterpaksaan, sikap ikhlas senantiasa mengalir dalam setiap moment. Tidak ada pembandingan, yang ada hanya ketulusan untuk melihat bahwa saya ini adalah saya. Nikmat sekali bukan ? Lebih-lebih ongkos ke arah itu tidak terlalu mahal, ia hanya memerlukan keikhlasan untuk menerima dan kemudian mencintai sang aku. Itu saja.
Jatuh cinta berikutnya, adalah jatuh cinta pada keluarga. Istri, anak, orang tua, mertua serta anggota keluarga lainnya, adalah serangkaian manusia yang berkontribusi besar terhadap bangunan hidup kita. Tanpa orang tua dan mertua, mungkin tidak ada kehidupan. Tanpa istri/suami serta anak, rumah akan lebih menyerupai tempat kering, sepi dan sunyi. Saya tidak tahu bagaimana kehidupan Anda, namun dalam kehidupan saya tempat paling indah di dunia ini adalah rumah. Di mana orang-orang yang saya cintai, orang-orang yang menerima diri saya secara utuh, tinggal dan menunggu kedatangan saya setiap hari.
Memasuki pintu rumah, terutama ketika baru pulang dari tugas luar kota, seperti memasuki gerbang surga. Betapa mewahpun hotel tempat menginap, betapa bersihpun bandar udara yang saya lalui, betapa cantikpun wanita-wanita yang lewat di perjalanan, tetapi tetap tidak bisa menggantikan posisi orang-orang rumah.
Saya bersukur sekali ke Tuhan karena dikaruniai seorang wanita yang bisa membuat saya jatuh cinta setiap hari. Dengan seluruh kesabarannya, kesediaannya untuk menerima, kejujurannya, serta sejumlah kekurangan lainnya, ia berhasil menimbulkan hasrat jatuh cinta setiap hari.
Sebagaimana sepasang remaja yang lagi jatuh cinta, perasaan serupa juga sering mengunjungi saya bersama karunia Tuhan tadi. Modal yang bisa menimbulkan hasrat jatuh cinta tadi sebenarnya tidak banyak. Perhatian, kesabaran dan kesediaan untuk menerima seutuhnya hanyalah hal murah, sederhana dan dimiliki setiap orang yang bisa menimbulkan hasrat orang lain untuk jatuh cinta pada diri kita.
Sebagaimana pernah ditulis Deborah Waitley, to love another is to look at the good. (Mencintai berarti melihat aspek baik dari orang lain). Atau mirip dengan apa yang pernah ditulis Katherine He Burb, 'love has nothing to do with what you are expecting to get - only with what you are expecting to give - which is everything'. (Cinta berkaitan dengan apa yang kita berikan, dan di sinilah letak kebesaran cinta).
Kalau demikian, bukankah tidak terlalu sulit membuat orang lain jatuh cinta pada diri kita setiap hari ?
Perampok-Perampok Kejernihan
Untuk menjaga kejernihan berfikir, telah lama saya tidak terlalu intensif menonton televidi republik ini. Telah lama juga membaca koran dan majalah, hanya sekadar tidak ketinggalan informasi saja. Semuanya saya lakukan dengan sistim lihat dan baca cepat saja. Sebab, semakin banyak membaca tidak membuat kepala tambah jernih, malah semakin ngawur.
Tadinya, saya fikir hanya saya seorang diri yang menjaga jarak terhadap berita sehari-hari. Ternyata, ada sejumlah orang yang bahkan menutup mata dan telinga terhadap berita. Disamping bosan, juga karena didominasi manusia-manusia omong kosong.
Dunia politik, demikian sejumlah rekan yang sudah mulai muak dengan berita seperti skandal bank Bali, hanyalah dunia omong kosong. Sementara investor dan pelaku ekonomi menunggu kepastian ekonomi, eh pejabat KPU (komite pemilihan umum) malah berebut kursi tidak selesai-selesai. Sementara Ambon, Aceh dan Timtim rusuh, PHK di mana-mana, penyakit sosial seperti copet dan perampokan menjalar, eh mereka yang di atas seperti tidak tahu penderitaan rakyat, malah cakar-cakaran.
Sebagai konsekwensinya, menemukan kepala jernih - baik di swasta maupun di pemerintahan - saat ini amatlah sulit. Saya bertemu dengan banyak sekali pengusaha yang mengaku pusing tujuh keliling. Pemimpin perusahaan yang tidak tahu harus mulai dari mana. Manajer yang dirundung ketakutan di mana-mana. Ibarat air di kolam, semuanya sudah demikian keruh. Tidak ada yang bisa dilihat secara utuh.
Di tengah-tengah keadaan seperti ini, saya sering dan teramat sering ditanya : bagaimana bisa tetap jernih dalam lingkungan yang super keruh ?
Huanchu Daoren dalam Back To The Beginning, Reflection on the Tao, pernah menulis sebuah analogi yang amat menarik.
Fikiran yang marah, benci dan curiga mirip dengan angin ribut dan hujan deras. Fikiran gembira seperti bintang terang. Orang yang amat keras dan kasar tidak jauh berbeda dengan matahari terik tanpa angin. Namun, apapun yang terjadi, langit tetap jernih berwarna biru.
Berefleksi dari sini, alangkah inovatifnya bila di zaman yang super keruh ini, ada orang yang mengelola seperti langit. Jernih, bersih, dan bening. Atau bila ada konsep manajemen yang bisa melengkapi manajer dengan kejernihan dan kebersihan berfikir. Setelah kaca mata dibuat tebal oleh tumpukan teori dan konsep manajemen, ternyata belum ada satupun konsep manajemen yang secara sengaja ditujukan untuk memfungsikan fikiran seperti langit. Sebagian malah ikut memperkeruh penglihatan.
Lihat saja, deretan konsep yang mengemuka ke tataran terkenal dan dikagumi. Semuanya, sekali lagi semuanya, mudah sekali membuat fikiran out of date. Baik karena berhenti di satu tataran belajar, maupun karena membangkitkan keyakinan berlebihan yang mematikan penglihatan.
Kembali ke soal semula tentang kejernihan berfikir seperti langit, proses penjernihan fikiran adalah sebuah kegiatan yang tidak bisa digantikan dengan hanya hadir di sekolah. Atau hobi menghafal teori pakar manajemen terkemuka.
Ia melibatkan proses self management yang intensif di sini, di dalam diri. Ibarat sekolah, gurunya, muridnya, perpustakaannya, laboratoriumnya, semuanya ada di dalam sang diri. Hanya satu yang ditunggu oleh sekolah terakhir, segera mulai proses penjernihan. Boleh saja Anda memiliki cara lain. Namun, penting sekali mewaspadai dua jenis perampok yang selalu memperkosa kejernihan.
Perampok pertama, ia datang dari luar melalui panca indera. Perampok kedua, ia bersembunyi di dalam bersama emosi dan perasaan. Mata dan telinga, sebagai contoh, adalah jendela tempat perampok kejernihan memasuki rumah fikiran. Bila kita biarkan ia terbuka secara tanpa disadari, maka perampok kejernihan secara amat leluasa menyakiti dan mencuri kejernihan.
Nah, di era yang sudah mendekati liar ini, hati-hatilah memasukkan informasi melalui mata dan telinga. Tanpa kewapadaan yang memadai, kejernihan sudah dirampok, tapi mengaku diri sebagai manusia paling jernih.
Perampok kedua lain lagi. Ia tidak memerlukan jendela. Malah sudah ada berselimut rapi dengan sang diri di dalam. Ia juga memerlukan kewaspadaan. Membiarkan emosi dan perasaan tidak terkelola, hanya akan membuat kejernihan lari tunggang langgang entah kemana.
Aktivitas sekolah self management sebagaimana disebutkan di atas, kurang lebih mengatur jendela panca indera agar perampok kejernihan tidak masuk seenaknya, serta menjaga agar emosi dan perasaan tidak menjadi penentu satu-satunya.
Siapa yang mengatur semua ini ? Inilah rektor dari Universitas manajemen diri. Ia bernama sang aku. Mirip apakah sang aku terakhir ? Dalam berfikir, ia seperti burung elang, terbang tinggi seorang diri. Dalam bertindak, ia seperti seniman super antik. Setiap kali membuat keputusan, ia bayangkan dirinya akan mati besok pagi.
Saya tidak tahu, adakah Anda setuju dengan sekolah gombal buatan saya ini. Atau, Anda malah punya sekolah sendiri yang lebih gombal lagi. Yang jelas, tulisan ini juga merampok. Bagaimana tidak merampok, saya sendiri yang sudah lama tidak memperhatikan televisi secara serius, membaca koran dan majalah seadanya, Anda baca tulisan saya sampai habis.
0 komentar:
Posting Komentar