Admin : AA H. RONY KP.SABRANG, JAWILAN - SERANG - BANTEN 42177.Telp. +6281280485019 (Indonesia) dan +967715138399 (Yemen).
بـــسـم الله الرحمن الرحيم السّـلام عليكم ورحمة الله وبركاتـه بعد تحــية وبعــد ...... شهر رمضان المبارك والمعظم === أبعث لسعادتكم === بأخلص التهاني وأطيب التمنيات والأماني بالشهر الفضيل, تقبل الله منا ومنكم صيامنا وصيامكم, قيامنا وقيامكم... سائلين الله أن يعيده علينا وعليكم بالصحة والسعادة وأن يجعل الله العلي القدير هذا الشهر عليكم مباركا خيرا ويمنا.. وعلى أمتنا الإسلامية تقدما وازدهارا... وكل عام وأنتم والجميع بخير ولكم مني جزيل الشكر والتقدير وجزاكم الله الخير. والسّـلام عليكم ورحمة الله وبركاته أخوكم في الله الحاج بكراني لاتار
AA H. RONY DAN KELUARGA BESAR DI SABRANG SERTA SELURUH MASYARAKAT JAWILAN MENGUCAPKAN "SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1434 H SEMOGA KITA BISA MENJADI LEBIH BAIK DI HARI-HARI YANG AKAN DATANG"

Warga Kelas Dua

Siang di satu universitas teknik tertua di Eropa Barat. Beruntung, saya berhasil menemuinya, seorang cendekiawan cemerlang berdarah Polandia. Meski waktunya kurang tepat, peneliti yang sedang menghiasi ruang kerjanya dengan poster ilmiah itu, menyambut kedatangan saya dengan antusias. Kamar kerjanya terlampau sesak, jika tidak boleh dibilang sempit. Bekal gelar doktor dari universitas prestisius di negara bagian Massachusets (Amerika Serikat) ternyata tidak membuat karirnya lempang. Saat ini, kala rekan-rekan sebayanya sudah mendapatkan posisi permanen sebagai tenure-track professor, ia harus puas dengan posisi cuma magang. Status ‘warga kelas dua’ dengan paspor imigran ternyata sangat menghambat karir akademisnya. Meski ia bekerja di negara demokrasi yang katanya paling liberal.

Beberapa waktu berselang, di sebuah pusat riset perusahaan minyak raksasa di Amsterdam, saya mendengar cerita senada dari insinyur melayu. Ijazah sarjana teknik dari universitas tebaik di negaranya, ternyata bukan jaminan mulusnya karir. Ketika ditanya lebih jauh tentang masa depannya di lingkungan kerja, ia mengeluh getir, "Dengan status 'warga kelas dua', rasanya tidak pantas saya berharap yang muluk-muluk."

Kembali saya dipertemukan dengan stempel diskriminasi tersebut: warga kelas dua!
Anda pernah mendengar istilah tersebut di tanah air? Di Indonesia, istilah ini mungkin tidak resmi diperdengarkan. Atau lebih tepatnya, sudah dihapus sejak era kolonialisasi berakhir.

Perbedaan perlakuan dalam berkarir tentu menentang prinsip keadilan. Tapi, bila diskriminasi sosial ini terjadi pada hak yang lebih mendasar seperti kesehatan dan pendidikan, dampaknya lebih menyeramkan. Dua kebutuhan ini bahkan termaktub dalam hak-hak asasi manusia versi PBB tahun '48 (Declaration of Human Rights). Hak akan pelayanan kesehatan yang layak disebut dalam Pasal 25 diikuti Pasal 26 mengenai hak mendapatkan pendidikan.

Meski setara secara hukum, di negeri kita, kasta-kasta sosial mudah dijumpai. Pengklasifikasian manusia terjadi akibat tingkat kesejahteraan yang teramat jomplang. Perbedaan penghasilan menjelma menjadi perbedaan strata sosial. Misalnya dalam kesempatan untuk hidup sehat. Jika 'warga kelas satu' berobat ke dokter spesialis, maka bagaimana dengan ‘warga kelas dua’? Yah, ke Puskesmas cukuplah. Bahkan, Puskesmas pun tidak sepenuhnya bisa didatangi, kisah Pak Supriono, seorang pemulung, yang kesulitan mengakses Puskesmas, menegaskan bahwa pelayanan kesehatan di negeri ini bukan milik seluruh warganya.

Belum lagi, ancaman busung lapar yang kini menjadi headline di berbagai media. Gizi buruk menjangkiti anak bangsa. Pertanda kualitas hidup dan pelayanan kesehatan yang tak kunjung membaik. Harta negeri yang mestinya dapat digunakan memperbaiki gizi tadi, tersedot oleh para pemuka 'warga kelas satu'.

Dalam sebuah lesehan konco lama, obrolan tentang busung lapar ini mengemuka. Seorang teman kami yang aktivis, tegas-tegas menyalahkan para pembobol bank pemerintah dan pembabat hutan (illegal logging). "Bangsa ini kecurian banyak sekali," katanya bersemangat ala demonstran.

Sahabat saya yang lain, seorang enterpreneur, cenderung menghujat para kaum feodal, "Ini negara sudah salah urus, aset-aset penting dijual dengan harga miring. Mulai privatisasi BUMN hingga lelang murah di blok minyak Cepu."
Belum berakhir kebingungan saya, satu rekan main kami nyeletuk, "Yang jelas, kita emang nggak punya hati!" keluhnya memberengut.

"Mulai tahun ini, muncul sebuah ajang pemborosan terselubung gaya baru bernama Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Padahal, sudah bukan rahasia lagi kalau sebagian politikus negeri ini punya mental pedagang."
"Jabatan itu bagai kail pancingan, menebar rupiah dahulu, mengangguk untung kemudian." Kaget juga kami. Baru kali ini keluar komentar keras dari rekan tadi yang biasanya pendiam.

"Tapi kan, kalau yang terpilih orang saleh yang jujur, nasib rakyat akan berbeda," bela sahabat aktivis yang tetap optimis.
"Betul, tapi itu kan 'kalau', bagaimana jika yang terpilih nanti ternyata orang lama lagi?"

Ajaib!!! Ini memang bangsa ajaib. Penggalangan dana untuk Pilkada lancar, di saat busung lapar mengancam. Mewabahnya busung lapar (selain polio dan diare), menyegarkan ingatan kita akan kasus Teluk Buyat. Pencemaran akibat logam berat sejenis, sudah duluan populer sejak pencemaran di teluk Minamata-Jepang. Celakanya, meski sudah menjadi bahan hafalan bagi anak SD, tragedi kemanusiaan ini nyaris terulang. Lambannya penelitian pencemaran di Teluk Buyat seolah menyuarakan ketidakadilan.

Kelanggengan investasi asing ternyata dianggap lebih penting dari kesehatan dan nyawa anak negeri. Pencemaran lingkungan tak jadi soal, toh yang menjadi korban bukan masyarakat kelas satu.
Parahnya pelayanan kesehatan, buruknya kualitas hidup dan pencemaran lingkungan sebenarnya sudah cukup sebagai bukti diskriminasi. Sementara itu, pengelompokan warga juga jelas terlihat di bidang pendidikan. Warga kelas satu boleh sekolah setinggi-tingginya, warga kelas dua? Yah...tergantung nasib saja lah.
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa waktu lalu, sebuah universitas 'negeri' mematok angka 25 juta untuk uang masuk (admission fee) bagi mahasiswa barunya. Angka yang fantastis, bagi sebuah bangsa yang tertatih-tatih dalam krisis tak berujung. Saya jadi ingat film-film kolosal tentang jaman kolonial dulu, ketika pendidikan bukan milik semua kalangan.

Ketika sekolah diperuntukkan hanya bagi anak saudagar dan anak demang. Saat harkat anak manusia masih bergantung pada status sosial kehidupan orang tuanya. Persis seperti keluhan seorang dosen simpatik yang belum lama ini kembali ke tanah air.
"Masalah terbesar bangsa kita adalah mahalnya biaya pendidikan, akibatnya anak tukang becak tidak memiliki kesempatan belajar yang sama dengan anak menteri. Putra tukang bangunan, ya nanti jadi tukang kayu lagi."

Sungguh skenario yang sangat tidak adil, bagi anak manusia yang tak pernah bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga yang mana. Realita ini diperparah oleh komersialisasi pendidikan dengan dalih untuk menutupi biaya operasional. Akibatnya, cash flow dari sebuah sekolah menjadi prioritas, meski taruhannya: pemerataan kebodohan.

Dengan terlantarnya perlindungan kesehatan dan semakin mahalnya biaya pendidikan, mengacu kepada keluhan peneliti Eropa Barat di paragraf pertama, anda warga kelas berapa?
."..dan takutlah akan do'a orang mazhlum (yang teraniaya), karena sesungguhnya tiada tabir penghalang antara doa-doa mereka dengan Allah." (HR Bukhari dan Muslim)
M. Abdurrazzaq, Eindhoven 30-06-05
Era Muslim.

0 komentar:

=============================================================
SOBAT SILAHKAN KIRIMKAN TULISAN ANDA DI KISAH JAWILAN
=============================================================
Nama
Email
No HP
Belajar
Judul
Kategori
Tulisan
Pesan

kirimkan Photo Penulis ke email : bakronilatar@yahoo.co.id Terimakasih Telah Berpartisipasi Tulisan di Kisah Jawilan, setelah mengirimkan tulisan mohon sms ke aa Rony di +6281280485019


=======================================================================
Komentar Terbaru
VISITOR KISAH JAWILAN MOHON TINGGALKAN PESAN DISINI

Mari Gabung Disini !!!

KISAH JAWILAN DAN NEGERI SABA' © 2008 Por A H.RONY