Admin : AA H. RONY KP.SABRANG, JAWILAN - SERANG - BANTEN 42177.Telp. +6281280485019 (Indonesia) dan +967715138399 (Yemen).
بـــسـم الله الرحمن الرحيم السّـلام عليكم ورحمة الله وبركاتـه بعد تحــية وبعــد ...... شهر رمضان المبارك والمعظم === أبعث لسعادتكم === بأخلص التهاني وأطيب التمنيات والأماني بالشهر الفضيل, تقبل الله منا ومنكم صيامنا وصيامكم, قيامنا وقيامكم... سائلين الله أن يعيده علينا وعليكم بالصحة والسعادة وأن يجعل الله العلي القدير هذا الشهر عليكم مباركا خيرا ويمنا.. وعلى أمتنا الإسلامية تقدما وازدهارا... وكل عام وأنتم والجميع بخير ولكم مني جزيل الشكر والتقدير وجزاكم الله الخير. والسّـلام عليكم ورحمة الله وبركاته أخوكم في الله الحاج بكراني لاتار
AA H. RONY DAN KELUARGA BESAR DI SABRANG SERTA SELURUH MASYARAKAT JAWILAN MENGUCAPKAN "SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1434 H SEMOGA KITA BISA MENJADI LEBIH BAIK DI HARI-HARI YANG AKAN DATANG"

Misi Pluralisme di Balik Novel Ayat-ayat Cinta

Misi Pluralisme di Balik Novel Ayat-ayat Cinta

Arrahmah Opini - Pesona Novel Ayat-ayat Cinta, telah menjulangkan nama penulisnya, Habiburrahman el-Shirazy, ke posisi Tokoh Perubahan 2007 versi Republika. Seperti sastrawan dan budayawan Mesir Mahmud Abbas al-Aqqad, Thaha Husein dan lainnya, yang menjadi makelar zionis melalui gagasan multikultural dan multikeyakinan. Agen zionis, memang tidak pernah kehilangan cara untuk menemukan kaki tangan di bidang sastra dan budaya. Membaca novel ayat ayat cinta menyisakan beragam kesan. Mungkinkah penulisnya dianggap figur yang tepat sebagai makelar zionisme melalui misi pluralisme agama?
LAHIR di Sema-rang, Kamis 30 September 1976, Habiburrahman el-Shi-razy, memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen; sambil belajar kitab ku-ning di Pondok Pesantren Al-Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan KH. Abdul Bashir Ham-zah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Prog-ram Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995.

Setelah itu melanjut-kan pelajaran ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ha-dits di Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 lulus Postgra-duate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Stu-dies di Kairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri.
Kembali ke tanah air pada pertenga-han Oktober 2002, ia di-minta ikut mentashih Ka-mus Populer Arab-Indo-nesia yang di-susun oleh KMNU Mesir dan diterbitkan oleh Diva Pus-taka Jakarta, (Juni 2003). Ia juga menjadi kontributor pe-nyusunan En-siklopedi Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Pemikiran-nya, (terdiri atas tiga jilid di-tebitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, 2003).

Antara tahun 2003-2004, ia mendedikasikan ilmunya di MAN I Jogja-karta. Selanjutnya sejak tahun 2004 hingga 2006, ia menjadi dosen Lem-baga Pengajaran Bahasa Arab dan Islam Abu Ba-kar Ash Shiddiq UMS Surakarta. Saat ini ia mendedikasikan dirinya di dunia dakwah dan pendi-dikan lewat karya-karya-nya dan pesantren Karya dan Wirausaha Basmala Indonesia bersama adik dan temannya.

Dengan reputasi de-mikian, beralasan bila se-bagian pembaca mengido-lakannya bagai HAMKA Muda. Seperti juga dalam bidang pemikiran dan politik, khalayak Indonesia pernah menyematkan nama Natsir Muda pada diri Nurcholish Madjid. Apalagi penulis 'Ayat-ayat Cinta' cukup berprestasi internasional yang lama menimba ilmu di al-Azhar Mesir, dan akrab dengan budayawan serta novelis di Mesir yang terkenal se-bagai sarang pembinaan zionis.

Touris dan Dzimmi

Begitu gegap gempita publikasi Novel Ayat-ayat Cinta, menyebabkan ba-nyak pembaca kehilangan daya kritis. Sehingga nyala api pluralisme menerobos masuk imajinasi penulis, tak dirasa adanya. Pada mulanya, barangkali se-kadar titipan ide, namun je-las titipan dimaksud men-jadi ide sentral rangkaian kisah cerita Novel Ayat-ayat Cinta.

Pada bagian ketiga di bawah judul 'Kejadian di Dalam Metro' misalnya, berlangsung cekcok an-tara rombongan turis Amerika dengan pe-numpang asli Mesir yang meledakkan ama-rahnya pada bule-bule itu, sebagai ganti kejengkelan mereka pada pemerintah Amerika yang aro-gan dan mem-bantai umat Islam di Afghanistan, Iraq, dan Pales-tina. Namun, dalam cekcok ter-sebut penulis menyalah-kan orang Mesir, dan memosisikan touris kafir yang berkunjung kenegara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai ahlu dzimmah yang memiliki hak-hak kekebalan diplo-matik, dengan manipulasi dalil agama. “Ahlu dzim-mah adalah semua non Muslim yang berada di dalam negara kaum Mus-limin, masuk secara legal, membayar visa, punya pas-por, hukumnya sama de-ngan ahlu dzimmah, da-rah dan kehormata n mereka harus dilindungi,” katanya.

Sebagai pembenaran atas pembelaannya pada bule Amerika itu, penulis mencomot sebuah hadits: “Barangsiapa menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku, dan siapa yang menyakiti diriku ber-arti dia menyakiti Allah.”

Padahal, menempat-kan touris asing sebagai dzimmi di negeri Muslim bukan saja tidak memiliki argumentasi syar'iyah, te-tapi juga merusak tatanan syar'i secara keseluruhan. Persoalannya, bukan pada perlakuan kasar atau halus terhadap touris, melainkan pada posisi yang disemat-kan, bahwa touris tidak sama dengan ahlu dzim--mah, baik hak maupun kewajibannya. Pem-bayaran visa tidak bisa di-samakan dengan jizyah. Sebab, legalitas hukum bagi touris dan ahlu dzimmah memiliki per-bedaan-per-bedaan sehingga mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.

Perbedaan itu antara lain: Pertama, Ahludz dzimmah (dzimmi) adalah orang kafir yang menjadi warganegara Negara Islam. Sedangkan touris tidak memiliki hak ke-warganegaraan, dan hanya memiliki hak pelayanan sebagai tamu.

Kedua, Dzimmi mem-punyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bila-mana pemerintah tidak bisa memenuhi hak ke-warganegaraan orang dzimmi, maka mereka tidak wajib lagi membayar jizyah (pajak). Sedangkan pembayaran visa touris yang berkunjung ke sebuah negara Islam tidak dapat dianggap sebagai jizyah, karena orang Islam yang bukan penduduk negara yang dikunjunginya juga harus membayar visa. Apakah orang Islam yang berkunjung ke negara Islam juga dianggap dzim-mi oleh pemerintah negara tempat dia berwisata?

Ketiga, pada keadaan darurat, pemerintah negara Islam dapat mewajibkan penduduk dzimmi untuk menjalani wajib militer. Berbeda dengan touris, apabila datang ke suatu negara yang sedang dalam keadaan darurat perang ti-dak bisa dipaksa ikut wajib militer bagi negeri yang di-kunjunginya.

Perbedaan prinsip di atas, nampaknya kurang di-pahami oleh penulis novel, dan lebih terpesona dengan misi kemanusiaan global yang menjadi gerak nafas pluralisme; sehingga meng-hilangkan kewaspadaan. Boleh jadi touris itu justru musuh yang sedang menya-mar, meneliti, atau men-jalankan misi intelijen. Novelis muda lulusan filsa-fat Al-Azhar Cairo itu, ber-gaya ulama besar ahli fiqih dan ahli hadits berkaliber dunia, lalu mengintroduksi hadits dzimmi sebagai 'ijti-had cemerlang'.

Untuk menetralisir kecurigaan, dan menang-kal virus berbahaya ter-utama bagi pembaca muda yang jadi sasaran utama novel ini, sebenarnya penu-lis dapat mengimbanginya dengan wacana pemikiran yang adil, bahwa dalam ba-nyak kasus kedatangan touris-touris kafir di negeri Islam membawa dampak kerusakan moral dan sosial di tengah masyarakat muslim. Bahkan sebagian sengaja disusupkan se-bagai mata-mata ter-selubung. Fakta ini dapat terlihat jelas dan ditemu-kan oleh para pejabat intelijen negara bahwa touris biasa dipakai kedok oleh para agen intelijen untuk menjalankan ope-rasinya. Namun, penulis lebih mendahulukan 'baik sangka' daripada was-pada, suatu sikap yang telah membuat umat Islam berulangkali tertipu dan dininabobokkan gagasan harmonisasi an-tar umat beragama, tanpa mempertimbangkan aki-batnya yang berbahaya.

Namun penulis alfa melakukannya. Maka, tidak aneh bila terdapat pembaca kritis mem-pertanyakan, misi siapa yang hendak dipasarkan oleh penulis di balik novelnya yang best seller tersebut? Dilihat dari simplifikasi penggunaan dalil-dalil agama untuk menopang argumentasi, dan memanipulasi tujuan politik yang halus, me-rupakan ciri khas kom-prador zionisme yang ber-gentayangan di tengah-te-ngah masyarakat Muslim. Maka bukan mustahil, Novel Ayat-ayat Cinta yang sudah 30 kali cetak ulang dengan tiras 500 ribu eksemplar, menjadi pembuluh darah halus yang mengalirkan misi pluralisme agama yang telah diformat oleh zionis-me internasional dan di-pasarkan di tengah-tengah masyarakat Muslim Indo-nesia.

Tanpa pretensi 'buruk sangka' terhadap novelis muda Habiburrahman, ki-sah sampingan yang di-tampilkan berkaitan de-ngan touris Amerika itu, kita perlu mewaspadai adanya celupan misi zionis dalam obrolan seperti Kejadian di Dalam Metro itu. Sudah banyak pemuda yang diperalat untuk mengembangkan faham toleransi dan pluralisme agama melalui tokoh-tokoh Indonesia yang di-anggap cemerlang dan ber-pengaruh.

Artikel Ini Kerjasama antara:
Arrahmah.com dengan Risalah Mujahidin edisi 17
Rubrik Musykilah
http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media


Tulisan Lainnya Tentang
• opini
Komentar (44)
dr_daieyah on 24/03/08 08:41 PM said:
mmm, ada benarnya juga…
althafunnisa on 25/03/08 04:29 PM said:
novel ayat-ayat cinta yang sekarang sudah difilmkan membuat para muslimah yang tadinya enggan ke bioskop jadi pengen ikut-ikutan nonton. bahaya juga..
kidal on 27/03/08 07:44 AM said:
tulisan yang bagus,memang kita harus kritis.....
-->untuk penulis artikel ini langsung ketemu sama orangnya --->Habiburrahman el-Shirazy<--- aja,biar bisa saling berdialog ataupun memberi masukan...sehingga nantinya dapat menghasilkan tulisan yang sesuai..
- on 28/03/08 07:32 AM said:
yang bisa saya tambahkan mungkin adalah status mesir sebagai negara. yang kita tahu, mesir bukanlah negara yang menjadikan islam sebagai dasar negaranya. maka, mesir bukanlah negara islam. dan karena dzimmi adalah satu bentuk perjanjian, harus ada dua pihak yang mengikat perjanjian tersebut. ketiadaan negara islam, kemudian, menjadikan tidak adanya perjanjian dzimmi tersebut. dengan demikian, menjadikan turis sebagai dzimmi dalam novel tersebut, saya pikir tidak tepat.
selain kasus tersebut, mungkin yang perlu disoroti adalah pandangan penulis soal poligami. di novel tersebut mungkin tidak secara jelas bagaimana pandangan beliau soal poligami, karena di sana juga diceritakan bahwa si tokoh utama melakukan poligami, meski dengan dorongan agar baik istri keduanya dan dirinya sendiri bisa selamat.
tentang pandangan poligami penulis bisa dilihat di novel ketika cinta bertasbih ketika tokoh wanita di novel tersebut mensyaratkan seorang peminangnya agar tidak menikahi wanita lain selama masih terikat tali pernikahan dengannya. si tokoh wanita merujuk pada kitab al mughni-nya ibnu qudamah. terlepas dari kuat tidaknya pendapat yang diambil, pada masa di mana syariat poligami menjadi objek hujatan para pendengki islam, menyajikan hal yang demikian rasanya justru kontraproduktif dengan misi dakwah islam. kelak, dengan merujuk kepada novel tersebut, barangkali akan banyak akhwat penggemar novelis ini, akan menolak syariat poligami. kalau akhwat saja sudah menolak, lantas bagaimana yang bukan akhwat?
Mahabbati on 29/03/08 10:13 AM said:
hehehe,walau beragam komentar baik yg pro maupun kontra mengenai ayat-ayat cinta,,kini novel yg sdh beredar fimnya itu telah ditonton oleh 4 juta orang..president aja ampe kya gak punya kerjaan pake nonton sgala,,bener juga gara2 Film ini banyak akhwat yg jarang atau yg tdk pernah kebioskop jd nonton kebioskop..termasuk ana juga ne,dah tobat gak mau masuk bioskop jd masuk bioskop lg gara2 penasaran dng fimnya..,Film ini katanya sukses juga krn yg disuguhkan adalah mslh poligami,,koment di atas ana neh bener bgt,,bs2 akan lebih banyak lg wanita yg akan menentang poligami,,bahkan ada yg bilang “boleh2 aja dipologami asal kejadiannya kya maria,yg akhirnya bakal mati duluan”..hehehe..duh ngeri juga neh jadinya,krn yg akan dtg film2 “bernuansa Islam” akan menyemarakkan industri film menggantikan film2 hantu,,coming soon (akhir tahun) ketika cinta bertasbih bakal di rilis..
Indonesia Bersyari’at
Oleh Prince of Jihad pada Ahad 26 Agustus 2007, 12:51 PM
Print Recommend (42) Comment (3)
HINGGA hari ini, masih ada piha-pihak tertentu di negeri ini yang memberi kesan, bahwa penegakan Syari’at Islam di lembaga Negara sebagai gerakan yang mengancam keselamatan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pihak yang terus melestarikan stigmatisasi Islam sebagai ancaman bagi kedaulatan NKRI adalah kelompok komunis. Setelah komunisme dibubarkan, berdasarkan keputusan MPR RI 1966, pada era reformasi, wajah komunisme muncul kembali, merayap di celah krisis nasional.
Gerakan komunis berwajah Melayu, dan komunitas anti agama, kini berambisi untuk memisahkan kaum Muslimin dari sejarah bangsa Indonesia. Suatu pekerjaan sia-sia, bagai memisahkan gula dengan manisnya. Mustahil!
Kongres pertama rakyat Indonesia yang tergabung dalam Partai Syarikat Islam Indonesia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto, pernah melancarkan tuntutan, perlunya Indonesia baru yang bersyari’at. Seperti dapat disimak dari laporan penasehat rezim Hindia Belanda, Dr. HazU. Pada 16 Juni 1916, Dr. Hazu, yang notabene pejabat penjajah Belanda, dan beragama Kristen dengan jujur melaporkan bahwa, “kongres Partai Syarikat Islam merupakan kongres pertama rakyat Indonesia. Dalam kongres tersebut menggema tuntutan ‘Rakyat Indonesia Bersyari’at.”
Belum pernah ada organisasi yang hidup di zaman penjajah Hindia Belanda yang mampu mengumpulkan dan mengorganisir bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke, kecuali Partai Syarikat Islam. Pada waktu itu, tidak seorang pemimpin pun berani nongol dengan gagasan komunisme, nasionalisme, untuk mengajak rakyat Nusantara berjuang menuntut kemerdekaan.
Jadi, yang menyatukan Indonesia itu adalah Islam. Maka, bisa dikatakan sejarah Indonesia adalah sejarah pergerakan Islam. Ki Hajar Dewantoro, sebagai ketua gerakan Taman Siswa ikut dalam Partai Syari’at Islam. Bahkan Alimin yang menjadi tokoh komunis, semula menjadi pengurus Partai Syari’at Islam. Mereka semua bernaung di bawah panji-panji Islam di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto dengan Partai Syarikat Islam.
Mengapa sekarang, perjuangan menuntut kemerdekaan yang diawali oleh rakyat dengan semboyan “Indonesia Bersyari’at Islam” digugat? Setelah 90 tahun berselang, Syari’at Islam malah dianggap asing oleh rakyatnya sendiri, dianggap musuh yang mengancam kesatuan Indonesia. Siapa mereka?
Gangguan Munafiq
Selain komunis, siapakah yang secara gencar meredam perjuangan formalisasi Syari’ah Islam di lembaga Negara? Pertanyaan ini bisa dicarikan jawabannya pada Qur’an surat At-Taubah ayat 101 dan 102.
Allah Swt berfirman: “Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik; dan juga di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahi mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (Qs. At-Taubah, 101).
Nabi Muhammad Saw, seorang manusia ma’sum yang dijamin oleh Allah kesucian, dan kebersihan pribadinya, masih juga dikelilingi kaum munafiq. Seorang Nabi dan para sahabatnya, hidupnya telah diridhai oleh Allah, dijaga kema’sumannya, masih juga diganggu oleh orang munafiq, apalagi kita? Kondisi ini, nampaknya yang alpa dari pengamatan umat Islam. Mengapa perjuangan kaum Muslimin selalu mengalami degradasi (penurunan) terus menerus, tidak makin naik dan sukses, setelah bertahun-tahun lamanya umat Islam berkorban harta dan nyawa? Kita lengah, ternyata orang munafiq bergentayangan dimana-mana, menyusup ke berbagai lini perjuangan.
Orang munafiq bisa muncul dari dalam gerakan Islam, bisa juga komunis berjubah Islam, atau zionis bertopeng nasionalis. Allah Swt berfirman:
“Dan ada pula orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (102).
Maksud ayat ini, bahwa ada orang Arab yang masih setengah-setengah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada juga orang-orang Yahudi yang pandai memutar balik kebenaran, atau orang-orang Kristen yang tidak suka Islam berkembang. Mereka semua menjadi penduduk Negara Madinah, yang senantiasa berupaya menghancurkan Islam. Begitu halus dan lihainya orang munafik, sehingga Rasulullah Saw pun tidak menyadari eksistensi mereka, tapi Allah Swt mengetahuinya.
Statemen Al-Qur’an di atas harus menjadi referensi umat Islam. Kita harus teliti dan waspada, bahwa perjuangan Islam yang dimulai sejak tahun 1916 dengan semboyan, “Rakyat Indonesia Bersyari’at.” Tapi kenapa kita gagal meneruskan estafeta perjuangan yang telah dirintis Mujahid Islam terdahulu? Maka harus diwaspadai taktik licik kaum munafik. Kita jangan terlalu percaya terhadap orang yang identitasnya tidak jelas.
Orang munafiq sangat halus, lembut, dan sulit dideteksi. Termasuk ketika Hatta menyatakan, ada orang Indonesia bagian timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia bila Piagam Jakarta, dipaksakan untuk disahkan. Bung Hatta pun terprovokasi, sehingga dengan gampang membatalkan keputusan PPKI yang sudah susah payah bersidang untuk kepentingan itu. Maka, patut dipertanyakan, siapa sebenarnya Bung Hatta: Muslim atau Munafik?
Orang munafik tidak pernah bicara halal-haram, haq-bathil. Mereka mencampur adukkan kebaikan dan kejahatan. Dalam menyelesaikan problem bangsa, berpegang pada prinsip: bagaimana enaknya, bukan bagaimana baik dan benarnya. Sehingga, sudah lebih setengah abad Indonesia meredeka, rakmat Allah kian menjauh, rakyatnya tidak bertambah sejahtera. Karena itu, para tokoh umat Islam, politisi partai, pejabat eksekutif maupun legislative yang beragama Islam, tapi menjegal pelaksanaan Syari’at Islam di lembaga, harus mencurigai dirinya sendiri: “Jangan-jangan saya seorang munafik.”
Oleh : Ust. Muhammad Thalib
dikutip dari: Rislah Mujahidin

Tulisan Lainnya Tentang
• opini
Komentar (3)
The Khidr Group on 31/01/08 02:06 AM said:
Mari dirikan saja khilafah dg syariat penuh, walaupun hanya sepersepuluh wilayah indonesia atau hanya sepuluh juta umat di dalamnya. Dengan hijrah tsb, akan ketahuan siapa yang berada dalam darul Islam dan siapa yang memilih dalam darul harb
setios on 15/02/08 06:14 AM said:
Yang paling utama pemimpinnya… Berpegang atas Al Quran dan Sunnah Rasul SAW…
zamahsari on 13/03/08 12:31 PM said:
masalahnya kalau syariah di indonesia ditegakkan kita berpegang pada mazhab yg mana? hanafi, maliki, syafii, atw hambali? kalau hanya quran dan sunnah, tetapi kan kalau sunnah itu kenyataan byk perbedaan antar mazhab, contoh ttg potong tangan ada mazhab yg mengatakan hanya pergelangan, ada yang mengatakan sampai siku, ada juga yg mengatakan sampai lengan dr sini saja sudah banyak perbedaan.. mazhab di indonesia itu kompleks tidak seperti di saudi misalkan, mereka bisa menegakkan syariah di negaranya karena mazhab mereka mayoritas sama yaitu hambali, kalau maroko maliki, nah kalau kita ? bukan hanya syafii saja, banyak juga hanbali, bahkan wahaby, jil, sekularis pun banyak berkembang disini
contoh lain misalkan seorang wanita yang hamil terkena hukum rajam karena tuduhan berzina tetapi yg mengahimilinya terlepas dari hukum rajam. di syariat islam seorang terkena tuduhan berzina apabila telah dibuktikan 4 orang saksi, tetapi
kalau tidak ada orang saksi. apakah lelaki yg berzina dgn wanita terlepas dari tuduhan zina?
padahal kehamilannya sudah cukup sbg saksi!
misalkan di Indonesia bersyariat islam dgn memakai mazhab wahaby, “misalkan” di indonesia tidak boleh ada lagi ritual2 spt maulidan, tahlilan karena menurut sunnah ritual spt itu dianggap sesat.. namun, banyak masyarakat indonesia yg telah terbiasa mlakukan ritual spt itu, apa yang akan terjadi? yg ada pemberontakan2 dan perpecahan!
syariat mungkin dapat di tegakkan spt di saudi yang negaranya bersistem kerajaan yg otoriter dan mayoritas mempunyai paham mazhab yg sama,
bukannya tidak indah bersyariat tetapi lihat dulu kondisinya, negara kita berdemokrasi dan beragam bung!!
(tolong jgn dihapus comment ini)
trima kasih
Mensekular-kan Hukum Islam
Oleh Fadly pada Rabu 10 Januari 2007, 07:17 AM
Print Recommend (32) Comment (2)
Oleh: Nirwan Syafrin, MA *)
Memasuki awal abad duapuluh, para pemikir, filosof, dan teolog Kristen di Barat mulai terlibat secara intens mendiskusikan sekularisasi dan sekularisme dan impak yang ditimbulkanya terhadap agama Kriten. Para cerdik pandai tersebut mulai merangka konsep dan ide yang dapat membolehkan mereka untuk menyerap dan menerima sekularisasi sebagai bagian ajaran Kristen. Hal ini terpaksa mereka lakukan untuk dapat menjadikan Kristen tetap relevan dengan perkembangan zaman, tidak tergilas dengan waktu. Sejak saat itu mulailah bermunculan beberapa pandangan ‘aneh’ seperti yang diusung oleh Rudolf Baltmann dengan ide “demitologisasi” Perjanjian Baru.
Melalui karyanya Systematic Tehology, Paul Tillich, seorang teolog Amerika, juga mengkempanyekan hal yang sama, yang kemudian mendapat afirmasi dari tokoh lain seperti Friedrich Gogarten. Sejak saat itu, perkataan “teologi secular” atau “Kristen Sekular” pun mulai bergulir.
Proses sekularisasi Kristen ini sepertinya mengalami titik kulminasinya ditangan Harvey Cox. Lewat karya intelektual yang diterbitkannya pada tahun 1965, yang penjualannya sampai saat ini mencecah hampir juta eksamplar, dan telah menimbulkan perdebatan sengit dikalangan para teolog dan pemikir Kristen, bahkan Paus Paul VI-pun terpaksa menyempatkan diri untuk membacanya, Cox telah mencoba melakukan sebuah “revolusi” pemikiran teologi Kristen secara besar-besaran dengan memberikan justifikasi teologis dan filosofis atas keabsahan sekularisasi. Dengan mengutip pandangan Gogarten, Cox menyatakan bahwa sekulrisasi memiliki akar teologisnya pada Kitab Suci Bibel sendiri: “Secularization… is the legitimate consequence of the impact oif biblical faith in history.” Dihalaman yang sama ini juga menuliskan,"secularization represents an authentic consequence of biblical faith.” (The Secular City, 1990, 15). Oleh karena sebab demikian, Cox lantas menyeru kaum Kristen untuk tidak melakukan perlawanan terhadap sekularisasi, tapi sebaliknya memberikan dukungan penuh menyuburkannya.
Belakangan ini ada upaya-upaya sistematik dilakukan beberapa pemikir dan cerdik cendikia Muslim untuk mengKristenkan Islam, dengan cara mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dunia Kristen dan peradaban Barat kepada Islam dan juga ummatnya. Maka tidak heran bila saat ini kita melihat banyaknya istilah-istilah “aneh” yang secara mencolok terkesan sangat dipaksakan terhadap Islam. Sebut saja misalnya istilah Protestant Islam, Liberal Islam, Liberation Theology (Teologi Pembebasan), Fundamentalist Islam, dan terbaru istilah Islamic Facist yang direka oleh George Bush, yang pada keseluruhannya mengacu pada pengalaman Kristen yang terjadi di Barat.
Masih dalam kerangka yang sama, beberapa tahun terakhir ini sebagian pemikir Muslimpun, seut saja misalnya Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Fuad Zakariyya, Hasan Hanfi, Abdullah Ahmad Na’im, dan lain-lain, secara intens mengkempanyekan “Islam sekuler.”
Seperti ingin mengikuti jejak yang pernah di rembah oleh Cox dalam Kristen, pada pemikir inipun sepertinya sedang berusaha gigih “mengotak-atik” ajaran Islam mencari-cari justifikasi teologis dan filosofis yang dapat membenarkan ide aneh ini.
Maka tampillah orang seperti Fuad Zakariyya yang menilai sekularisme sebagai keniscayaan peradaban (darurah hadariyyah) (Qadaya Fikriyyah, 1989) yang akar intelektualnya dapat ditelusuri pada peradaban Islam seperti terlihat pada al-Farabi, Ibn Ruyd dan lainnya (Al-Sahwah al-Islamiyyah fi Mizan al-qAql, 1995, hal. 73) Sesuai dengan keyakinannya tadi, diapun akhirnya menentang keras segala usaha penerapan Syaria’h Islam dan pendirian negara yang berdasarkan prinsip Syariah. Sebaliknya, dia mengecam gerakan Islam (al-harakah al-Islamiyyah) yang mengusung ide ini menuduh mereka telah mempergunakan Agama untuk kepentingan politik. Menurutnya negara sekuler sepenuhnya sejalan dengan praktek kenegaraan yang dilakukan nabi dalam sejarah dan tidak bertentang prinisp dasar Al-Quran. (al-Urubah wa al-Dawlah al-’Almaniyyah, Al-Mustaqbal al-’Arabi, 1979, no. 5)
Seperti Zakariyya, Nasr Hamidpun ‘mati-matian’ membela sekularisasi ini. Dalam bukunya Naqd al-Khitab al-Dini (1995) dia menolak bila sekularisme diletakkan secara berseberangan dengan Agama, karena menurutnya sekularisme bukan melawan agama tapi tafsir literal para agamawan gereja. Pernyataan ini mengingatkan kita pada kalimat yang pernah diutarakan Harvey Cox bahwa “Secularization have no interet in persecuting religion. Secularization simply bypases and undercuts religion and goes on to other things. (sekularisasi tidak punya kepentingan serius untuk menghakimi Agama. Ia sekadar melangkahi dan memintas agama.) “ (The Secular City, 2)
Nasr Hamid selanjutnya menerangkan bahwa sekulrasasi itu hanya berupa “penentangan atas hak” “pemilikan kebenaran mutlak” mempertahankan “relatifitas”,"historisitas", “pluralitas” dan “hak berbeda” bahkan “hak untuk salah.”
Kalau begitu, kata Nasr menyimpulkan, sekularisme tidak bertentangan dengan “Aqidah Islam. Ia sebaliknya menegaskan bahwa “Islam adalah agama sekuler par-execelence, karena ia tidak mengakui adanya kerahiban (bal inna al-Islam huwa al-din ‘lmani’ bimtiyazin liannahu la ya’tarif bi sultah al-kahnut) pandangan yang hampir sama ditekankan oleh pemikir liberal lain seperti Hasan Hanafi (al-Din wa al-Thawrah fi Misr, vol.8, 105) dan Mohammed Arkoun (al-’Almanah wa al-Din 1990, hal, 10; dan Tarikhiyyah al-Fikr al-’ Arabi al-Islami, 1996, khususnya hal. 277-287).
*). Penulis sedang menyelesaikan disertasi doktornya di ISTAC Malaysia.

Tulisan Lainnya Tentang
• opini
Komentar (2)
bond_7 on 25/08/07 09:08 PM said:
thogut ya tetap thogut...........
iqbal20 on 27/10/07 09:43 PM said:
tiada tempat untuk sekulerisme. seluruh jagad raya
Siapa Broker Terorisme di Indonesia
Oleh Fadly pada Jum'at 13 April 2007, 11:16 AM
Print Recommend (36) Comment (1)
Kepolisian Indonesia mengaku memberi bantuan dana pada keluarga terpidana teroris. Mengapa mereka tidak dibebaskan saja agar tidak menjadi beban negara?
GLOBALISASI tata keamanan berdasarkan kepentingan dan tafsir politik Amerika, telah memunculkan ajang bisnis baru, yang terbentuk dan dipertahankan bukan saja lewat proses-proses politik, tetapi secara mendasar melalui dinamika sebuah pasaran baru, yaitu industri terorisme. Tidak mengherankan, bisnis baru ini telah memberi berkah bagi banyak orang, banyak negara, dan tentu saja bagi mereka yang menjual keahlian dan harga diri dengan menjadi komprador Amerika Serikat. Kepolisian Indonesia, adalah lembaga keamanan yang paling banyak meraup untung dari bisnis ini. Barangkali, dari keuntungan ini pulalah polisi dapat membantu keluarga para teroris, sebagaimana diungkapkan Direktur I/Kantramas Mabes Polri, Brigjen Pol Surya Darma, sebagai balas budi atas jasa para terpidana teroris itu.
Brigjen Pol Surya Darma terus terang mengakui bahwa,"Selama ini polisi justru sering membantu keuangan keluarga para terpidana teroris. Uang itu, kata Surya, ada yang digunakan untuk bayar uang sekolah anak-anak, buka usaha dan lain-lain. Jadi, polisi yang sering dibilang thaghut itulah yang justru banyak membantu kehidupan para keluarga teroris. Biaya yang dikeluarkan polisi untuk melakukan ‘pembinaan’ kepada para terpidana dan keluarga teroris dalam sebulan bisa mencapai ratusan juta rupiah.” (Sabili, 8/3/2007).
Mengingat derita para keluarga terpidana kasus teroris, memang pantas mereka diberi bantuan. Masalahnya, apa dasar hukum yang digunakan kepolisian untuk menyantuni keluarga para terpidana teroris yang sekarang sedang meringkuk di penjara? Bila yang dijadikan dasar pertimbangan adalah moral dan rasa kemanusiaan, maka pelaku pidana korupsi atau kriminal yang dipenjarakan, keluarganya juga berhak mendapatkan santunan serupa. Sebab, rasa kemanusiaan juga menuntut adanya perlakuan yang adil guna meringankan beban keluarga para terpidana itu.
Pertanyaan yang tidak kalah pentingnya adalah sumber finansial. Kepolisian menyantuni keluarga terpidana teroris, sumber dananya dari mana? Apakah berasal dari dana kepolisian sendiri atau APBN, atau bantuan negara yang sedang memerangi teroris? Jika bersumber dari dana kepolisian, atau APBN, apakah DPR menyetujui bila negara membiayai kehidupan keluarga mereka yang dianggap musuh negara itu?
Broker Terorisme
Pasca peristiwa “Black September”, runtuhnya WTC di New York, Indonesia menjadi lahan subur bagi AS untuk menancapkan pengaruhnya melalui intervensi ekonomi di Indonesia dengan dalih memerangi terorisme. Pada 2 Agustus 2002, melalui Keduataan Besar AS di Indonesia, Departemen Luar Negeri AS menggelontorkan dana lebih dari US$ 50 juta kepada pemerintah Indonesia guna membiayai proyek bertajuk “Program Anti-Terorisme Jangka Panjang”. Sekitar US$ 47 juta akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan polisi, sedangkan sekitar US$ 4 juta akan digunakan untuk pelatihan bagi TNI.
Wakil Ketua Sub Anggaran Komisi III DPR, HRM Pupung S. Wirjohamidjojo, kepada wartawan pernah menyatakan, sumber dana pembangunan kantor Polda yang dikerjakan tidak ditemukan dalam APBN Tahun 2004 ataupun 2005. Berdasarkan proposal rencana pembangunan, Gedung Densus 88 Antiteror Polda terdiri dari 23 lantai dan menelan biaya Rp 617 miliar. Total anggaran yang diperlukan mencapai Rp 1,1 triliun, termasuk renovasi gedung utama dan pembangunan kawasan Polda lainnya (Kompas, 7/12).
Dalam beberapa kesempatan, Firman mengatakan bahwa pembangunan Gedung Densus 88 Antiteror menggunakan anggaran multiyears. Artinya, dana pembangunan disesuaikan dengan kekuatan keuangan negara yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kepala Bidang Humas Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana mengatakan, keterbatasan anggaran membuat renovasi dan pembangunan fisik dilakukan dengan memperhitungkan skala prioritas. “Kebetulan saja prioritas pembangunan di bidang reserse, lalulintas, narkoba, juga humas,” katanya. Sedangkan untuk Sabhara dan Brimob belum mendapat alokasi. “Saya juga kasihan melihat mereka yang datang ke rumah sendiri seperti tamu. Harapannya, pembangunan bisa dilanjutkan,” katanya.
Selain kepolisian, aparat penegak hukum juga memperoleh berkah dari bisnis terorisme ini. Tidak kurang dari Ketua DPR RI Agung Laksono sendiri yang angkat bicara, mempertanyakan hibah dari pemerintah Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 750 ribu bagi Kejaksaan Agung yang akan digunakan untuk mendanai satuan tugas (satgas) antiteror. Pada 27 Juli 2005, di gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Agung Laksono menyatakan khawatir ada maksud tertentu di balik pemberian hibah dana tersebut. “Kejaksaan Agung harus menjelaskan kenapa dibiayai AS, bukan diambil dari APBN. Soal dana, masak harus dibiayai oleh asing,” katanya.
Sedangkan Mahkamah Agung pimpinan Bagir Manan kecipratan dana sebesar US$ 20 juta. Bantuan meliputi perumusan undang-undang dan amandemen, modernisasi administrasi pengadilan, komputerisasi sistem informasi, serta pelatihan. Mahkamah Agung (MA) dan Pemerintah AS kemarin (26/7) menandatangani nota kesepahaman mengenai bantuan untuk melaksanakan Program Pembaruan Pengadilan Khusus. Bantuan yang diberikan melalui The United States Agency for International Development (USAID) nilainya mencapai US$ 20 juta.
Dalam acara penandatanganan bantuan tersebut, MA diwakili oleh ketuanya, Prof. Dr. Bagir Manan dan Hakim Agung Paulus Effendi Lotulung sebagai Ketua Tim Pembaruan MA. Sementara, Pemerintah AS diwakili oleh Duta Besar (Dubes) AS untuk Indonesia B. Lynn Pascoe dan Direktur USAID Indonesia William Fred. Bantuan ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah AS sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Hibah untuk Sasaran Strategis yang ditandai. Secara spesifik, bantuan ini akan meliputi perumusan undang-undang dan amandemen, modernisasi administrasi pengadilan, komputerisasi sistem informasi, serta pelatihan.
Dalam dinamika pasar industri terorisme, kepolisian dan aparat hukum di Indonesia, secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri memposisikan diri sebagai broker atau makelar, dan menjadikan aktivis Islam sebagai korbannya. Sementara pemerintah melakukan tindak kejahatan terhadap rakyatnya sendiri, dengan memberlakukan UU Anti-Teroris terhadap mereka yang menjadi korbannya. Karena itu, DPR hendaknya memiliki keberanian untuk membatalkan UU Anti-Teroris. Dan aparat Densus 88 yang dibentuk oleh kepolisian dalam urusan ini harus dibubarkan. Seluruh personilnya harus dimintai pertanggung jawaban hukum, dan diperlakukan sebagai penjahat kemanusiaan.

* Risalah Mujahidin Edisi 7 Th I Rabiul Awal 1428 H / April 2007 M, hal. 16-19.
*Dapatkan Rislah Mujahidin edisi ke 7 di Ar Rahmah Media
Hub 021 6884 1087 ( Hanya waktu kerja)

0 komentar:

=============================================================
SOBAT SILAHKAN KIRIMKAN TULISAN ANDA DI KISAH JAWILAN
=============================================================
Nama
Email
No HP
Belajar
Judul
Kategori
Tulisan
Pesan

kirimkan Photo Penulis ke email : bakronilatar@yahoo.co.id Terimakasih Telah Berpartisipasi Tulisan di Kisah Jawilan, setelah mengirimkan tulisan mohon sms ke aa Rony di +6281280485019


=======================================================================
Komentar Terbaru
VISITOR KISAH JAWILAN MOHON TINGGALKAN PESAN DISINI

Mari Gabung Disini !!!

KISAH JAWILAN DAN NEGERI SABA' © 2008 Por A H.RONY