Admin : AA H. RONY KP.SABRANG, JAWILAN - SERANG - BANTEN 42177.Telp. +6281280485019 (Indonesia) dan +967715138399 (Yemen).
بـــسـم الله الرحمن الرحيم السّـلام عليكم ورحمة الله وبركاتـه بعد تحــية وبعــد ...... شهر رمضان المبارك والمعظم === أبعث لسعادتكم === بأخلص التهاني وأطيب التمنيات والأماني بالشهر الفضيل, تقبل الله منا ومنكم صيامنا وصيامكم, قيامنا وقيامكم... سائلين الله أن يعيده علينا وعليكم بالصحة والسعادة وأن يجعل الله العلي القدير هذا الشهر عليكم مباركا خيرا ويمنا.. وعلى أمتنا الإسلامية تقدما وازدهارا... وكل عام وأنتم والجميع بخير ولكم مني جزيل الشكر والتقدير وجزاكم الله الخير. والسّـلام عليكم ورحمة الله وبركاته أخوكم في الله الحاج بكراني لاتار
AA H. RONY DAN KELUARGA BESAR DI SABRANG SERTA SELURUH MASYARAKAT JAWILAN MENGUCAPKAN "SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1434 H SEMOGA KITA BISA MENJADI LEBIH BAIK DI HARI-HARI YANG AKAN DATANG"

PROYEK LIBERALISASI ISLAM

PROYEK LIBERALISASI ISLAM

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seru sekalian alam. Kedatangannya di muka bumi ini telah membawa berkah bagi umat manusia dan memanusiakan manusia seutuhnya. Terbukti dengan ajaran-ajarannya yang bukan hanya bersifat keduniaan empiris namun juga keakhiratan-metafisis. Ajaran keduniaannya terkait dengan cara hidup yang hendaknya umat Islam dapat berjalan di atas ajaran-ajaran Islam. Ajaran ini dinamakan mu’amalah ma’a al-nas. Sedangkan yang bersifat akhirat-metafisis tercermin dalam nilai-nilai etika bermu’amalah kepada Allah. Keduanya adalah cerminan bahwa Islam adalah pandangan hidup (worldview).
Penerimaan Islam sebagai pandangan hidup adalah bukti penerimaan kebenaran Islam dengan mutlak. Islam adalah agama yang memegang teguh tauhid sebagai sumber utama ajarannya. Dengan demikian, umat Islam hanya mempercayai satu kebenaran tertinggi, yaitu kebenaran akan adanya Allah. Bentuk mempercayai ini tercermin dalam bentuk penyerahan diri kepada-Nya:
(percaya kepada keesaan Tuhan berarti mengakui dan menerima kebenaran bahwa tidak ada keberadaan lain yang berarti selain ibadah dan penyembahan seseorang terhadap-Nya)
Menjelmanya Islam menjadi pandangan hidup ternyata diganggu oleh kehadiran sekularisasi pemikiran yang menyuguhkan menu-menu pisau bedah yang tidak mengenal batas. Tidak mengenal batas karena kritik tersebut menyentuh dimensi krusial ajaran Islam, yaitu al-Quran, sunnah. Kritik-kritik yang diusung berupa gagasan tentang interpretasi Islam dengan meminjam idiom dan alat bedah ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari barat. Mereka yang terlibat dalam tindakan ini berkumpul dalam suatu komunitas yang dikenal dengan sebutan Islam liberal.
Islam liberal muncul di awal milenium ketiga. Kedatangannya melantunkan nyanyian-nyanyian kebebasan. Kebebasan tanpa batas yang dapat mengakibatkan semakin jauhnya umat Islam dari nilai-nilai fundamental ajaran Islam. Meskipun demikian, nyanyian-nyanyian “Jaringan Islam Liberal—disingkat JIL—ini berhasil membetot perhatian banyak kalangan baik yang pro maupun yang kontra”. Namun kehadiran JIL ini sudah diprediksi oleh Yusuf Qaradhawi. Dia mengidentifikasi kemunculan komunitas ini sebagai hasil dari perang pemikiran antara barat dan Islam. Komunitas ini dinamakan oleh Qaradhawi dengan muslim geografis (muslim jughrafi). Hasil dari perang pemikiran itu tercurahkan dalam empat agenda besar JIL sebagaimana diungkapkan oleh Luthfi al-Syaukani yaitu: agenda politik, toleransi agama, emansipasi wanita dan kebebasan berekspresi.
Agenda-agenda tersebut disebarluaskan dan diaplikasikan oleh tokoh-tokoh pemikir Islam kontemporer. Di antara nama-nama yang tergolong pembesar Islam Liberal ini adalah: Nurcholish Madjid, Charles Kurzman, Azyumardi Azra, Abdallah Laroui, Masdar Farid Mas’udi, Goenawan Mohammad, Edward Said, Djohan Efendi, Abdullahi Ahmad al-Naim, Jalaludin Rahmat, Asghar Ali Engineer, Nasaruddin Umar, Mohammed Arkoun, Komaruddin Hidayat, Sadeq jalal Azam, Said Agil Siradj, Denny JA, Rizal Malarangeng, Budi Munawar rahman, Ihsan Ali Fauzi Taufiq Adnan Amal, Hamid Basyaib, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi al-Syaukanie, Saiful Mujani, Ade Armando dan Syamsurizal Panggabean. Kedua puluh tokoh ini memang berpengaruh dalam menuangkan gagasan Islam Liberal di Indonesia. Namun demikian, adopsi pemikiran barat oleh Nurcholish Madjid dapat dikategorikan sebagai pijakan awal perkembangan liberalisasi pemikiran Islam di Indonesia.

I. Kecurangan Nurcholish Madjid
Kehadiran Islam di Indonesia tidak terlepas dari proses adopsi pemikiran barat yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid. Sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra:
Nurcholish Madjid telah benar-benar mengetahui tentang dua aliran Islam baik klasik maupun modern juga pemikiran barat, terlebih lagi dia melanjutkan studinya di bawah bimbingan Fazlurrahman di universitas Chicago pada tahun 1978 sampai 1984. sejak itu dia telah terpengaruhi oleh Fazlaurrahman dan Ibnu Taimiyah.
Nurcholish Madjid menjadi media yang menjembatani Islam di Indonesia dengan barat yang merupakan hasil studinya di universitas Chicago. Di sinilah westernisasi Islam itu berjalan. Namun kesimpulan Azra bahwa Nurcholish itu terpengaruhi oleh Ibnu Taimiyah perlu dikaji ulang karena nama “Ibnu Taimiyah disebut-sebut dan dikutip ucapannya oleh Nurcholish Madjid menimbulkan kesan seolah-olah gagasan Nurcholish Madjid sejalan dengan Ibnu Taimiyah”. Hal ini terbukti bahwa Nurcholish kurang jujur dalam mengutip pendapat Ibnu Taimiyah karena “kurang akurat dan memotong bagian-bagian penting dari ungkapan Ibnu Taimiyah”. Terbukti dengan tulisannya:
“Dan itu tidak ada salahnya. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar isi kitab-kitab suci lama itu masih benar. Yang disebut adanya pengubahan itu dalam hal-hal yang bersifat berita. Terutama berita tentang kedatangan nabi Muhammad SAW.”
Tulisan ini tidak terbukti kebenarannya. Artinya, Nurcholish mengutip dengan tidak sempurna. Ibnu Taimiyah dalam al-Jawab al-Shahih Liman Baddala Din al-Masih mengutarakan kesesatan teologi kristen. Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa kitab suci mereka telah mengalami perubahan.
Ketidakjujuran Cak Nur juga terlihat dalam ungkapannya:
“perjanjian Aelia ini berisi tentang kebebasan beragama bagi masyarakat Palestina bahkan Umar membagi Palestina menjadi empat wilayah, yaitu wilayah Armenia, Kristen, Yahudi dan Islam”
Setelah diverifikasi oleh Adian Husaini. Terbukti bahwa perjanjian Aelia itu sebagaimana dikutip oleh al-Thabari dan diterjemahkan oleh KH Irfan Zidny, M.A berbunyi:
Bismillahi al-Rahmani al-Rahim. Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah Umar kepala negara Islam kepada rakyat Iliya. Dia menjamin mereka atas keamanan diri mereka, harta bendanya, gereja-gerejanya, salib-salibnya, yang sakit maupun yang sehat dan semua aliran agamanya. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya mengurangi maupun menghilangkan sama sekali. Juga tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agamanya dan tidak boleh mengganggunya. Tidak boleh bagi penduduk Ilya untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi.
Westernisasi yang dibawa Nurcholish Madjid berawal dari gagasan sekularisasinya yang diartikan sebagai usaha untuk menduniakan hal-hal duniawi dan mengakhiratkan hal-hal yang ukhrawi dengan maksud agar terhindar dari nilai-nilai keagamaan yang reduktif.
Terkait dengan sekularisasi ini, Nurcholish ingin membawa kepada sebuah persoalan yang terkait dengan relevansi agama dalam memecahkan problem sosial. Problem sosial yang selama ini telah bercampur dengan arus globalisasi yang sulit dibendung, dikatakannya sebagai “kemestian yang tak terhindarkan”. Karena itu, Nurcholish bertanya “mengapa harus dihadapi dan disongsong dengan agama?”.
Bagi Nurcholish, problem kemanusiaan sekarang ini perlu didekati dengan berpijak kepada manusia itu sendiri. Manusia dianggap mampu menyelesaikannya dengan humanisme barat yang sekuler yang baginya adalah “agama tanpa wahyu”. Agama tanpa wahyu ini dapat diartikan berupa sebuah kepercayaan yang tidak lagi mengimani Allah yang transenden akan tetapi penyerahan diri kepada materialisme duniawi. Materi adalah Tuhannya, kemapanan ekonomi adalah sumbernya dan rasionalisme adalah batu pijakannya. Maka pemecahan problem kemanusiaan tanpa agama formal ini bisa diartikan sebagai usaha mewujudkan manusia super Friedrich Nietzche yang menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan.
Penafikkan agama sebagai problem pemecah sosial merupakan bentuk penolakan terhadap Islam sebagai pandangan hidup. Islam tidak lagi diperankan dan dijadikan alat pandang realitas kehidupan. Maka tidak heran bila pandangan subyektif ini bisa berdampak kepada penghancuran keimanan kepada Tuhan.

II. Agenda Islam Liberal
Islam liberal sangat bersemangat dalam membangun sebuah wacana Islam tanpa agama. Islam bukan lagi berdasarkan kepada sumbernya melainkan dibangun dengan norma-norma yang lain tanpa otoritas ajaran Islam. Pada tahap ini. Islam liberal memiliki persamaan dengan teologi liberal yang telah berkembang dalam sejarah Kristen.
Mengingat ajaran-ajaran kristen itu bermasalah maka mereka mengusung sekularisme, suatu paham yang memisahkan agama dari kehidupan sosial. Demikian juga JIL yang agenda-agendanya mencerminkan semangat sekularisme dalam bentuk pemisahan ajaran Islam dari kehidupan sosial. Agendanya dalam bidang politik adalah usaha menjadikan umat Islam tidak lagi mempermasalahkan demokrasi dan tidak lagi bersemangat dalam menegakkan syari’at Islam dalam suatu pemerintahan. Agenda ini diwujudkan dengan cara menjadikan umat Islam mengamini bahwa demokrasi itu ada dalam Islam. Dengan demikian umat Islam tidak perlu lagi merujuk kepada syari’at karena sudah tercermin dalam demokrasi. Pada tahap ini agenda Islam liberal yang pertama menjelma dalam bentuk mengamini demokrasi.
Belum puas dengan program mengamini demokrasi, Islam liberal berkoar-koar tentang pentingnya toleransi agama. Namun yang mereka usung bukan lagi toleransi agama dalam perspektif Islam melainkan dalam perspektif barat yang identik dengan pluralisme agama. Pada tahap inilah Islam tidak lagi diamini sebagai agama yang paling benar; Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan agama apapun juga benar karena semuanya menuju satu kebenaran tertinggi. Karena itu, pluralitas agama mencerminkan bahwa agama bukanlah hal yang penting karena komponen yang terpenting dibalik agama adalah realitas tertinggi, yaitu Tuhan.
Masih kurang juga, JIL menambahkan agendanya berupa emansipasi wanita yang menjelma dalam bentuk gerakan Feminisme. Agenda ini berangkat dari interpretasi al-Quran terhadap wanita yang dianggap mengandung budaya patriarkhal dan masih bias. Untuk mengobatinya umat Islam perlu melakukan reinterpretasi agar terhindar dari interpretasi yang rancu. Semangat kritis ini berangkat dari anti kemapanan budaya yang oleh Jurgen Habermas melalui teori kritisnya itu berfungsi untuk menghindari kerancuan karena “fungsi dasar kehidupan dunia yang termasuk pelestarian sistem penafsiran dalam hidup adalah menolak kerancuan” . Namun demikian, menghindari kerancuan itu harus tanpa agama karena “ arti yang ditawarkan oleh agama hampir selalu rancu” . Di sinilah terbukti bahwa feminisme itu bersemangat kritis terhadap realita sosial. Namun, nilai di balik semangat kritis itu adalah westernisasi yang anti agama.
Umat Islam juga dipaksa untuk menyadari adanya kebebasan berekspresi. Kebebasan ini adalah cerminan akan budaya kritis dan juga hakekat dari diri manusia yang diciptakan untuk bebas berkehendak. Kebebasan berkehendak ini nantinya menjelma dalam bentuk usaha manusia untuk berspekulasi dalam memandang realitas. Karena itu pandangan manusia terhadap suatu realitas itu bebas tanpa batas. Pada tahap ini Islam liberal menginginkan apa yang penulis sebut dengan “speculation as a mankind’s attempt to the no frontier”. Padahal, dalam memandang realitas itu manusia membutuhkan kemapanan tanpa berspekulasi karena “perjalanan sejarah filsafat spekulatif The history of speculative philosophy” kata filosof sains dari Jerman bernama Hans Reichenbach, “adalah kisah tentang kesalahan manusia”. Kerancuan manusia ini tercermin dalam kebebasan berekspresi yang juga berarti halal untuk mengkritisi kemapanan yang ada dalam ajaran Islam. Maka, tidaklah salah jika agenda ini harum dengan parfum Posmodernisme.


1. Mengamini Demokrasi
Demokrasi terlihat sebagai asas penting dalam proyek liberalisasi pemikiran. Melalui sistem pemerintahan ini, umat Islam akan digiring menuju kebebasan yang tanpa batas. Agama tidak lagi menjadi pemegang otoritas. Manusia bebas berkehendak dan bahkan bisa melampaui batas agamanya karena demokrasi akan menghilangkan komponen apapun yang menghalangi kebebasan manusia. Karena itu dalam The Encyclopedia of Americana dikatakan:
The faith in ultimately rests not in the belief in the natural goodness of human beings but in the belief that most human beings are open to the democratic responsibility and possibility.
Hal ini menandakan bahwa demokrasi sepenuhnya kembali kepada tanggungjawab dan kemungkinan-kemungkinan yang keduanya berasal dari manusia tanpa adanya keterkaitan dengan Tuhan. Di sinilah terlihat demokrasi itu merupakan produk kekecewaan barat terhadap agama.
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa demokrasi memiliki ikatan dengan iman. Dia adalah implementasi dari bentuk keimanan seseorang. Implementasi tersebut membentuk sebuah pengaturan tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan. Inilah yang bagi Nurcholish Madjid disebut demokrasi dalam Islam.
Lebih lanjut, Nurcholish menjelaskan bahwa masyarakat yang beriman adalah masyarakat yang bermusyawarah. Pada poin ini Nurcholish terlihat tidak membedakan antara Syura dengan demokrasi. Syura adalah sistem pemerintahan dalam Islam yang menggunakan musyawarah sebagai alat untuk memecahkan problem dalam pemerintahan. Hal ini sudah dicontohkan oleh para sahabat ketika mengangkat khalifah paska kematian Rasulullah SAW. Di sini terlihat bahwa Syura tidak berlandaskan atas kebodohan. Dia terdiri dari orang-orang terpilih untuk bermusyawarah. Sedangkan demokrasi dapat menjerumuskan manusia kepada kebodohan. Karena itu tidaklah salah bila: “It is true that democracies are imperfect and democratic citizens may do foolish or dangerous things.”
Inilah kelemahan demokrasi yang hanya berlandaskan kepada rakyat yang berhak mengurusi politik (political affairs rightfully belongs to citizens). Karena berlandaskan kepada kebebasan rakyat dalam berpolitik rakyat juga memiliki hak untuk bersuara. Ketika suara mereka dikumandangkan ternyata tidak semuanya ditampung. Hanya mereka yang berada dalam komunitas elit politik saja yang ditampung suaranya. Maka, demokrasi hanyalah kedok barat yang berwujud keinginan untuk menguasai (will to power). Tidak lain, demokrasi hanyalah sebuah kedok cantik yang dibaliknya adalah imperialisme dan Islam tidak mungkin menerimanya.
2. Pluralisme Agama
Klaim kebenaran (truth claim) dalam beragama adalah mutlak diperlukan. Dengan klaim ini umat beragama menjadi yakin bahwa agama yang dianutnya adalah benar. Dalam tradisi Islam, umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah (QS. 3. 19). Maka tidaklah heran bila kepercayaan kepada Islam sebagai agama yang paling benar berimplikasi kepada iman.
Keimanan umat Islam terhadap agamanya ternyata terusik ketika Islam tidak lagi diinterpretasikan sebagai agama, melainkan sebagai “penyerahan diri”. Dalam surat Ali Imran ayat 19 dikatakan bahwa agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam. Ayat itu diinterpretasikan bahwa agama yang diridhai oleh Allah adalah agama yang berserah diri . Dengan demikian agama manapun yang mengajarkan penyerahan diri kepada Tuhannya adalah baik. Implikasinya (pengertian), agama tidak lagi menjadi penting. Islam tidak lagi menjadi penting, yang penting adalah agama itu mengajarkan tentang kebenaran tertinggi. Inilah yang dibela mati-matian oleh JIL. Mereka menyebutnya dengan pluralisme agama.
Paham ini diyakini mampu menciptakan kedamaian dalam hidup. Pluralisme diyakini oleh Nurcholish Madjid mampu menjaga integritas bangsa. Dengan mengutip al-Quran surat al-Baqarah ayat 148, Nurcholish meyakini bahwa pluralisme adalah semangat untuk berkembang dalam keragaman. Karena itu dia mengatakan:
Jadi masalahnya bukan bagaimana paham keanekaragaman sosial-politik memperburuk keadaan, memecah belah-seperti yang dikhawatirkan oleh banyak ahli agama dan politisi-tapi bagaimana keanekaragaman itu satu sama lain bisa dikembangkan satu sama lain bisa dikembangkan. Untuk melihat bagaimana pluralisme sebagaimana mestinya, kita harus melihat kepada agama yang terletak di dasar hati manusia.
Ini berarti Nurcholish menghalalkan pluralisme agama. Maksud yang diinginkannya bahwa semua agama itu sama dan tidak perlu adanya klaim kebenaran karena yang diperlukan adalah berlomba-lomba dalam kemajuan. Maka tidaklah heran jika dia mengatakan “agama adalah simbol. Kalau kita berhenti pada sistem simbol kita akan konyol. Tapi kalau kita berusaha untuk kembali ke asal (simbol) kita akan banyak menemukan persamaan”. Perkataan tersebut menunjukkan bahwa esensi dari agama adalah hal penting sedangkan eksistensinya itu tidak. Dengan kata lain Nurcholish ingin mengatakan bahwa agama apapun tidak menjadi masalah karena sama-sama menuju kepada Tuhan.
Bila ditelusuri akar gagasan pluralisme yang dikembangkan oleh orang-orang liberal ini maka akan terlihat bahwa John Hick dapat menjadi rujukannya. Dia berpendapat bahwa gagasan pluralisme adalah wujud pengembangan dari inklusivisme. Bahwa agama hanyalah ragam jalan yang berhenti pada tujuan yang sama yang disebut dengan the ultimate. Hick menyebutnya dengan “the real”. Pemikiran ini berimplikasi pada pemikiran hanya nilai di dalam agama saja yang penting. Walhasil akan berujung kepada pemikiran Frithjof Schuon bahwa ”setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi”.
Pandangan ini menunjukkan bahwa orang-orang liberal ingin menyatakan bahwa esensi adalah inti keberadaan sesuatu, bukan eksistensi. Pandangan ini bertentangan dengan Suhrawardi, Syaykh al-Isyraq yang berpendapat bahwa secara konseptual keduanya adalah satu kesatuan yang utuh . Begitu juga dengan Mulla Shadra yang menegaskan bahwa eksistensi merupakan satu-satunya realitas. Dengan kata lain, agama tidak bisa hanya dilihat dari esensi ajarannya saja berupa ketuhanan. Agama harus dilihat secara keseluruhan karena dia adalah satu eksistensi yang nampak dalam realitas. Maka secara filosofis, pandangan Nurcholish, Komaruddin dan Ahmad Gaus yang mengamini semua agama itu sama tidak bisa diterima.
Dalam tahap teologis pluralisme agama ini memunculkan problem berupa apakah konsep ketuhanan agama-agama itu sama?, Apakah sama tauhid dengan trinitas dan trimurti Hindu?, apakah sama antara Allah dalam Islam yang Esa dengan Allah dalam Kristen yang beranak. Atau dengan Sang Pencipta (Brahma), Sang Penjaga (Wisnu) dan Sang Perusak (Siwa). Di sinilah maka secara teologis saja tidak bisa dikatakan bahwa semua agama itu sama.
Pluralisme agama juga bisa dikatakan dengan agama baru. Pandangan ini berangkat dari penelusuran istilah agama yang dilakukan oleh Wilfred Cantwell Smith. Dia menyatakan:
“maka istilah agama ini dikenal dengan sulit didefinisikan...ia merupakan konsep yang kabur, ambigu, dan diselewengkan, yang hakekatnya tidak punya hubungan sama sekali dengan sesuatu yang definitif dan dapat dikenali di alam nyata. Fenomena-fenomena yang kita sebut relijius jelas ada. Namun suatu konsep bahwa fenomena-fenomena relijius ini membentuk suatu entitas yang karakteristik (disebut agama) dengan sendirinya adalah suatu analisis yang tak didukung dengan bukti dan unjustifiable”
Maksud dari pernyataan Smith di atas bahwa eksistensi agama itu masih dipermasalahkan. Jika demikian berarti permasalahan benar dan salah yang dilontarkan dalam ajaran agama ini menjadi permasalahan. Sebagai solusinya, Smith mengganti istilah agama dengan cumulative tradition. Istilah ini berarti bahwa agama-agama yang selama ini dianut manusia berlandaskan pada tradisi-tradisi yang mereka buat. Maka disebut tradisi Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam. Terkait dengan ritual ibadahnya, Smith menyebutnya dengan Faith yang berarti iman yang sifatnya sangat pribadi. Benang merah dari pemikiran Smith ini ada dua. Pertama, agama itu merupakan produk budaya yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dan bukan dari Tuhan. Kedua, Asal agama adalah pengalaman individu manusia ketika melakukan ritual. Poin kedua ini menandakan bahwa Smith mengamini definisi agama yang digagas oleh William James yang menyatakan agama adalah:
The feelings, acts, and experiences of individual men in their solitude, so far as they apprehend themselves to stand in relation to whatever they may consider the divine.
Konsekuensi dari pemikiran Smith yang yang memiliki persamaan dengan konsepsi agama yang diutarakan oleh William James ini adalah setiap individu manusia bisa menciptakan agama, sesuai dengan usahanya masing-masing ketika mengalami Tuhan. Berarti akan banyak muncul agama-agama baru di dunia ini. Umat Islam ketika melakukan ritual ibadah akan merasakan pengalaman keagamaan yang berbeda-beda. Pengalaman tersebut akan menghasilkan agama Islam baru yang beragam. Akhirnya, berujung kepada sempalan-sempalan agama Islam yang semakin jauh dari sumber Islam itu sendiri. Walhasil, Islam akan kehilangan otoritasnya dan semakin tereduksi oleh pengalaman keagamaan yang sifatnya individual tersebut. Dengan demikian, tidaklah mungkin gagasan ini diterima.
3. Riffat Hassan dan gerakan Feminisme
Gerakan feminisme dalam Islam muncul sebagai kekecewaan terhadap budaya yang dipandang patriarkhal oleh aktifis perempuan muslim seperti Riffat Hassan, Fatimah Mernissi dan Amina Wadud Muhsin. Mereka juga berpandangan bahwa agama (baca: Islam) pada hakekatnya membawa semangat pembebasan bukan pembatasan. Karena itu Riffat Hassan memandang perlunya semangat pembebasan dalam interpretasi doktrin agama dengan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi tafsir al-Quran.
Dekonstruksi sekaligus rekonstruksi tafsir al-Quran adalah semangat barat yang anti otoritas. Sikap ini berbentuk penolakan metode tafsir yang selama ini telah dikembangkan oleh para ulama. Riffat Hassan menyebutkan:
“what had to be done, first and foremost, in my opinion, was to examine the theological ground in which all the anti-women arguments are rooted to see if, indeed, a case could be made for asserting that from the point of view of normative Islam, men and women were essentially equal, despite biological and other differences.”
Riffat terlihat sangat memaksakan diri untuk mengedepankan subyektifitas dalam interpretasi agama. Dengan menafikkan interpretasi para ulama berarti Riffat telah memandang bahwa para ulama selama ini telah salah dalam melakukan penafsiran.
Sebagai solusi, Riffat Hassan mengajukan metodologi tafsir berwawasan gender. Metode ini memandang bahwa kata-kata di dalam al-Quran harus dirujuk kepada akar dan sejarah di mana dan kapan kata itu muncul. Kata tersebut harus dilihat konteks dan situasi sosio-kultural yang berlaku pada saat itu. Baru setelah itu dilakukan pengujian apakah sesuai dengan konteks sekarang atau masih bias. Akhirnya, interpretasi kata-kata tersebut di dasarkan pada prinsip keadilan. Inilah yang Riffat sebut dengan “metode historis-kritis kontekstual”.
Riffat juga setuju dengan hermeneutika dekonstruktif miliknya Derrida. Riffat menggunakannya dalam membangun konsepsi dekonstruksi pemikiran teologis tentang perempuan. Konsep tersebut disebutkan oleh Riffat sebagai berikut:
“...meskipun ada perbaikan secara statik seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak sosial politik, perempuan akan terus menerus diperlakukan kasar dan didiskriminasi, jika landasan teologis yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan misoginis dalam tradisi Islam itu tidak dibongkar. Banyaknya jaminan hak-hak sosial-politik perempuan tidak akan berarti apa-apa, jika mereka masih tetap dikondisikan untuk menerima mitos-mitos yang biasa dikemukakan oleh para pemimpin agamawan untuk membelenggu tubuh, hati, pikiran, dan jiwa mereka. Mereka tidak akan pernah berkembang sepenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya.
Perempuan memang sudah mendapatkan hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang cukup luas. Namun pandangan Riffat yang menyatakan bahwa selama pembongkaran tradisi Islam yang dipandang masih bias itu tidak dilakukan maka wanita akan terus terbelenggu berarti Riffat meragukan otentisitas ajaran Islam. Di samping itu metode penafsiran yang ditawarkannya cenderung kepada Hermeneutika Wilhelm Dilthey, yaitu merujuk kepada historisitas teks. Juga mengamini Derrida yang menyatakan bahwa ketika teks itu muncul maka pengarang sudah mati. Artinya teks yang sudah muncul adalah hak penuh para pembaca untuk menafsirkan sekehendak hatinya. Bila dikaitkan dengan al-Quran berarti Riffat telah menyatakan bahwa Allah sebagai pengarang al-Quran sudah mati dan hak sepenuhnya dalam menafsirkan al-Quran adalah milik siapa saja termasuk Riffat.
Secara umum, feminisme dalam Islam adalah upaya menggugah kesadaran kritis atas fenomena sosial yang selama ini dipandang masih bias patriarkhal dalam pandangan para aktifis gender. Upaya ini, bila ditelusuri lebih lanjut muncul dari wacana anti otoritas miliknya Posmodernisme (Derrida, Foucault, Habermas, dll). Bila upaya ini diteruskan maka tidak heran bila Islam masih dipandang rancu dan butuh penafsiran ulang. Dengan perkataan lain feminisme mengamini anti struktural Derrida dan Foucault. Tentu saja ini akan mengakibatkan Islam dipandang tidak mapan dan lama-kelamaan bukan lagi agama yang harus diyakini.
4. Posmodernisasi Islam
Semangat Islam liberal adalah memahami Islam secara progresif. Islam dipahami dengan menyesuaikan ajaran-ajarannya dengan konteks zaman di waktu dan tempat umat Islam hidup. Progresifitas pemahaman ini bermaksud untuk menggagas universalitas Islam. Universalitas ini muncul karena selama ini Islam hanya dipahami dari sisi luarnya saja dan tidak dapat memahami esensi ajaran Islam.
Esensi ajaran Islam itu adalah yang tetap namun pemahaman terhadapnya itu selalu berubah. Semangat inilah yang selalu diusung. Bentuk pemahaman ini melahirkan sebuah kebebasan berekspresi yang tidak beraturan yang terkadang anti kemapanan dan anti-otoritas ulama karena dalam pandangannya kemapanan yang selama ini diamini oleh umat Islam telah membawa kepada kemandekan, tidak progresif dan tidak memajukan Islam. Di sinilah Islam liberal dapat dikategorikan sebagai usaha menuju posmodernisasi Islam. Usaha ini ditunjukkan oleh Komaruddin Hidayat dengan reinterpretasi teks kitab suci sebagaimana dia katakan:
Karena teks hanyalah salah satu aspek dari realitas kehidupan beragama, maka pemahaman agama hanyalah yang hanya menyandarkan pada otoritas teks tanpa memahami dan mengapresiasi konteks psikologis, sosial dan demografis dimana sebuah teks suci dilahirkan maka dimensi universalitasnya bisa jadi akan terkalahkan oleh dimensi tekstualnya sehingga yang lebih mengemuka adalah wajah agama yang partikularistik.
Komaruddin terlihat sangat berambisi dalam membawa pemahaman Islam ke dalam ruang lingkup progresifitas agar memahami Islam berdasarkan konteks kekinian. Karena hakekat pemahaman Islam selama ini dia pandang terlalu partikularistik maka dia menggoyang pemahaman yang sudah mapan dengan memperhatikan dimensi psikologis, sosial dan demografis teks (baca: al-Quran). secara tidak langsung, Komaruddin berusaha menawarkan hermeneutika sebagai jalan memahami Islam yang lebih hidup.
Memahami Islam yang lebih hidup, dalam perspektif Komaruddin adalah memandang ajaran Islam sebagai produk historis yang perlu didekonstruksi (baca: dibongkar). Hasil dari pembongkaran itu adalah munculnya ragam pemahaman terhadap ajaran Islam yang bersifat relatif dan tidak adanya pemahaman yang final dan absolut. Dengan perkataan lain Islam itu berwajah banyak dan multi bentuk. Dengan demikian pemahaman selalu berubah, dan perubahan itu seolah-olah adalah lambang pemahaman yang dinamis.
Memahami Islam dengan mengusung relatifitas pemahaman ini adalah semangat posmodernisme yang terlihat dipaksakan. Dikatakan demikian karena memahami Islam dengan jalan pembongkaran berarti nihilisasi dan mencurigai pemahaman yang selama ini ada. Kedua usaha ini termanifestasi dalam cara pandang terhadap realitas yang berpijak pada sains dan seni saja. Maka cara pandang posmodernisme menafikkan agama. Di sini terlihat semangat Friedrich Nietzche yang mengumandangkan God is death; Derrida, Habermas dan Foucault yang anti terhadap kemapanan yang semuanya cukup berperan. Ini berarti dalam proses nihilisasi juga terdapat unsur mencurigai Tuhan.
Posmodernisasi Islam ini terlihat sangat menggiurkan karena siapapun berhak untuk menafsirkan apa Islam itu. Proses ini menawarkan subyektifitas dalam bentuk hermeneutika.
Hermenutika akan membahasakan segala bentuk realitas termasuk agama sebagai sebuah teks yang dapat diinterpretasi. Hasil interpretasi itu akan menjadi relatif sesuai dengan kondisi dan kemampuan si penafsir. Jika teks itu adalah agama maka mencabik-cabik agama dengan alat apapun itu sesuai dengan keinginan si penafsir. Kuantitas dan kualitas penafsiran yang muncul nantinya tidak akan menghasilkan kejelasan karena semuanya dapat diterima. Di sinilah relativisme bermain
Posmodernisme memang identik dengan relatifisme dan hermeneutika. Keidentikannya membuahkan sebuah kebenaran hermeneutik, bukan kebenaran yang absolut atau final. Bila dikaitkan dengan Islam Liberal sebagai wadah posmodernisasi Islam maka akan identik kepada hermeneutika yang membuahkan relatifitas pemahaman.
Pemahaman yang relatif ini adalah tanda akan adanya kebebasan berekspresi Jika demikian maka seluruh yang ada harus diganti dengan yang baru, yaitu yang relatif. Pemahaman yang baru itu adalah tercapainya cita-cita untuk menghancurkan pemahaman yang final dan membuahkan pemahaman yang hampa atau Ernest Gellner menyebutnya “nur fur Schwindelfreie”. Dalam hal ini, tidak mungkin menjadikan pemahaman terhadap Islam itu hampa. Nilai dan ajaran Islam yang dipegang teguh selama ini berlandaskan akan tauhid dan fakta berupa realitas duniawi yang empiris. Karena itu pemahaman dengan landasan tauhid ini berimplikasi kepada cara pandang terhadap realitas yang utuh.
III. Imperialisasi Islam
Perang pemikiran tidak ada hentinya. Begitu juga memerangi dan menolak islam sebagai pandangan hidup tidak akan pernah habis. Usaha ini terus berjalan dalam bentuk liberalisasi Islam tanpa lelah dan terus mencurigai bahkan membongkar pemahaman umat Islam terhadap agamanya dan merekonstruksinya dengan pemahaman barat yang sekuler. Usaha ini akan berujung kepada imperialisasi wacana keislaman dan akhirnya pemahaman terhadap ajaran Islam bukan lagi berlandaskan atas Islam tapi berlandaskan atas barat yang identik dengan nyanyian kebebasan tanpa batas.
Kebebasan tanpa batas ini dapat berupa kebebasan untuk membunuh Tuhan dalam pikiran manusia, mencurigai otentisitas teks kitab suci dan menafsirkannya dengan sekehendak hati. Bisa juga berbentuk mempercayai kebenaran semua agama. Islam liberal terlihat sangat getol sekali mengusung gagasan-gagasan tersebut. Apakah ini warisan dari kolonialisme yang menjadikan umat Islam di Indonesia ikhlas untuk mendukung kolonialisme modern yang lebih canggih.
Orang manapun tidak ada yang rela untuk dijajah. Islam liberal pada hakekatnya adalah penjajahan barat terhadap Islam agar umat Islam tidak lagi mengamini agamanya yang paling benar, tidak lagi mempermasalahkan negara Islam karena sudah ada demokrasi dan tidak ada lagi patokan dalam memahami Islam. Yang ada adalah kebebasan dalam memahami Islam dengan alat pemahaman apapun. Maka masihkah tidak dipercayai bahwa Islam Liberal adalah posmodernisasi Islam? Yaitu memahami Islam tanpa otoritas ulama, anti kemapanan, relatif dan hermeneutik. Di sini perlulah umat Islam itu sadar bahwa perang pemikiran ini akan terus berlanjut dan umat Islam akan kalah bila tidak lagi memahami Islam sebagai pandangan dalam hidupnya.

0 komentar:

=============================================================
SOBAT SILAHKAN KIRIMKAN TULISAN ANDA DI KISAH JAWILAN
=============================================================
Nama
Email
No HP
Belajar
Judul
Kategori
Tulisan
Pesan

kirimkan Photo Penulis ke email : bakronilatar@yahoo.co.id Terimakasih Telah Berpartisipasi Tulisan di Kisah Jawilan, setelah mengirimkan tulisan mohon sms ke aa Rony di +6281280485019


=======================================================================
Komentar Terbaru
VISITOR KISAH JAWILAN MOHON TINGGALKAN PESAN DISINI

Mari Gabung Disini !!!

KISAH JAWILAN DAN NEGERI SABA' © 2008 Por A H.RONY