Sejarah membuktikan, perempuan Yaman pernah memerintah dan berjaya di Arab, yaitu berkuasanya Ratu Bilqis dan Ratu Arwa. Kedua wonder woman ini merupakan pelopor hak-hak perempuan di masa lalu. Sebagai negara yang memiliki peradaban lama seperti Yaman, suatu yang wajar jika negeri asal usul arab ini sangat menjaga adat dan tradisi, yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir kehidupan masyarakat.
Belum lama ini, Yaman menerima banyak kritik dari pers internasional, dengan memberikan rangking terburuk di tahun 2008 (peringkat terakhir dari 128 negara), pada Daftar Permasalahan Gender Dunia. Cerita Najood, perempuan berumur 12 tahun yang telah dua kali dicerai, diberitakan selama berbulan-bulan oleh media internasional dan menjadi wanita terkenal keempat di dunia versi PBB.
Mei lalu, seorang kolumnis Inggris bernama Rachel Cooke di koran Guardian menulis artikel berjudul, "Yaman: Apakah ini tempat terburuk di dunia untuk menjadi seorang wanita?"
Penulis tersebut mengkritik, "Sa'at ini di Yaman sedang terjadi minimnya pengakuan emansipasi perempuan dengan konsekwensi mengedepankan patriarki, mayoritas perempuannya buta huruf, menikah sebelum mencapai masa pubertas, dan mati dalam melahirkan, hal ini diperparah dengan trauma pemberantasan kemiskinan ".
Anehnya judge masyarakat Yaman terhadap perempuan seringkali diklaim dari Islam. Padahal semestinya kita dapat membedakan antara adat dan tradisi dan ajaran Islam, khususnya ketika membahas perempuan dan perannya dalam masyarakat. Islam memposisikan perempuan sebagai mitra laki-laki, dan mendukung hak-hak perempuan.
Kadar keimanan seseorang dinilai berdasarkan ketaatan, bukan gender.
Dalam Al Qur'an disebutkan "Wahai manusia, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan", dan Rasulullah SAW bersabda "perempuan adalah saudara laki-laki." Selain itu, Tuhan dan Rasulullah memerintahkan kita untuk senantiasa memperlakukan wanita dengan baik dan memberikan haknya secara utuh, baik dalam pendidikan, profesi, warisan, serta dalam perkawinan dan perceraian. Syariah (baca; hukum Islam) memandang perempuan pada posisinya, namun beberapa orang masih belum merealisasikannya, dan memilih untuk tidak mentaati aturan-aturan syariah, hal ini tidak hanya berlaku di Yaman, atau kawasan Timur Tengah. Perempuan harus berjuang untuk memperoleh hak-haknya di seluruh dunia, baik di timur dan barat.
Ironisnya ialah, salah satu problem utama yang memperlambat kemajuan perempuan Yaman adalah buta huruf. Sebuah hasil lembaga penelitian mengungkapkan, bahwa sampai sa’at ini 30% perempuan Yaman masih buta huruf. Informasi ini bisa dikatakan cukup menggembirakan, karena pada tahun 1994, hanya 38,5% dari seluruh gadis Yaman yang sekolah kemudian pada tahun 2005, angka ini naik menjadi 54,9%. Dibandingkan dengan laki-laki 70,3% di tahun 1994 dan 71,4% pada 2004, jelas bahwa masih ada kesenjangan yang besar antara perempuan dan laki-laki pendidikan.
Menurut Organisasi Penelitian di Yaman, ada lima sebab yang menjadikan minimnya pendidikan bagi anak perempuan mereka. Pertama, bahwa ayah atau kepala keluarga akan memilih mendidik anak-anak perempuan mereka di rumah sendiri. Meskipun mereka “hanya” mengeluarkan biaya untuk pembelian buku, perlengkapan sekolah, seragam sekolah dan absent tidak begitu ketat , masih banyak yang tidak berminat menyekolahkan anak perempuannya. Sebab kedua nikah dini, yang dampaknya juga bisa mempengaruhi anak laki-laki untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Rata-rata perempuan Yaman menikah pada umur 15-17 tahun.
Sedangkan sebagian besar anak laki-laki menikah di atas umur 21 tahun, namun perlu diketahui juga bahwa namun perlu diketahui juga bahwa UU Perkawinan di Yaman selalu mengalami renovasi, tahun 2000 batas minimal usia wanita untuk nikah 12 tahun, kemudian tahun 2005 berubah menjadi 15 tahun, selanjutnya tahun ini berubah menjadi 17 tahun, di samping itu tidak sedikit perempuan yang melanjutkan pendidikannya setelah perkawinan. Sebab ketiga adalah bias budaya yang tidak fokus dalam mendidik anak perempuan. Sebab keempat adalah bagi penduduk Yaman yang 50% nya adalah hidup di pedesaan, orang tua mereka takut anak perempuannya “rusak” karena interaksi dengan lawan jenis, disamping jarak sekolah yang jauh dan minimnya fasilitas toilet.
Walaupun Islam menyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi siapapun tanpa mengenak gender, namun budaya tradisional Yaman beranggapan bahwa perempuan cukup di rumah. Beberapa hal inilah yang menjadikan faktor utama kenapa perempuan Yaman kalah bersaing, dan susah untuk memperoleh jabatan di berbagai instansi. Tingkat pengangguran perempuan Yaman mencapai 40 % lebih banyak, bila dibandingkan dengan kaum laki-lakinya yang "hanya" 13 persen. Pendidikan dan pengetahuan adalah kunci kemajuan peradaban apapun. Maka, saya sangat salut jika ada perempuan Yaman yang belajar hingga jenjang doktoral dan berani menjadi wanita karir di negerinya sendiri. Karena sudah selayaknya, jika perempuan mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk melakukan perubahan di negerinya.
Saya kira, jika ada orang yang datang ke Yaman-tentunya dengan budaya dan pola hidup yang berbeda- akan berargument, bahwa saat ini di Yaman telah terjadi kemunduran peradaban, yang disebabkan oleh faktor pengaplikasian budaya yang tidak porposional terhadap perempuan. Karena, tidak jarang jika ada perempuan Yaman yang mampu dan memiliki hak untuk berjuang dan maju, menuntut hak-haknya serta mengubah kenyataan tidak dipublikasikan.
Akan tetapi di balik itu semua, saya yakin bahwa perempuan Yaman masih memiliki banyak waktu dan cara untuk menuju jalan dalam memperjuangkan hak-haknya. Keyakinan dan harapan saya terhadap perempuan Yaman tidaklah hampa, karena sejarah telah membuktikan kejayaan Bilqis dan Arwa.
OLEH SYUKRON AMIN (Ketum PPI Yaman dan sedang menempuh S-1 di Yemenia University Jurusan Islamic Studies)
0 komentar:
Posting Komentar